Friday, September 30, 2011

Nama 'keren'ku di Facebook: 'Angelika Riyandari'

Hampir semua orang sekarang punya account Facebook, dari anak yang tangannya masih belum gaduk kuping sampe ke nenek/kakek tuwek. Ditengah-tengah dua golongan di atas, kebanyakan pemilik account Facebook adalah anak-anak muda. Nah… anak2 muda plus para tua yang berjiwa muda sering memakai nama Facebook yang aneh bin ajaib… dan hobi pulak untuk menganti-ganti namanya di Facebook.

Mungkin nama yang dipakai di Facebook adalah nama idaman, hasrat terpendam dalam diri yang memang sudah meloncat-loncat ingin disalurkan atau mungkin sekedar upaya protes (balas dendam?) terhadap otoritas orang tuanya. Maklumlah ketika nama asli mereka (juga kita) dicoret-coretkan terus diketik manual maupun dengan computer di akta kelahiran, pilihan nama itu merupakan prerogative orang tua… mereka/kita (sebenarnya sudah punya hak) tapi belum bisa menyuarakan protes itu karena mereka/kita belum bisa berbicara. Ya mungkin memang ada baiknya seperti itu setidaknya para pencatat kelahiran tidak akan pernah didatangi oleh demonstran di bawah umur a.ka bayi dan dituntut karena melanggar hak berpendapat.

Aku tidak pernah keberatan dengan nama yang diganti-ganti, tapi kadang menjadi jengah sendiri kalau pas membuka account facebook tiba-tiba muncul nama “kelincilucuberjambulmerahmuda” or “pendekarbercelanadalamtigawarna” … aduuhhhh… nama-nama tak dikenal yang muncul ini pernah membuatku berpikir “Seberapa sering sebenarnya aku mabuk berat sampai aku tidak mengenali lagi nama-nama yang aku confirm?”

Baik apa pun yang terjadi, apa pun nama yang tertulis di situ, aku tidak akan pernah menelan ludah yang sudah aku “cuuuiiiihhhh”-kan. Aku tak pernah men-delete orang yang sudah aku confirm. Aku menyayangi mereka apa adanya dengan nama ajaibnya sekalipun (menurutku).

Namun ternyata efek dari nama-nama ajaib Facebook ini menimpakan kegalauan pada diriku. Begini cerita kegalauanku:

Ketika aku bertemu dengan beberapa teman baru di Australia. Salah satu teman mencatat namaku di mobilephone-nya (muup, di Ostrali tidak ada HP, adanya mobilephone… #cekikik). Dia bertanya nomorku dan namaku. Aku jawab kalau namaku “Ike” dan nomor telponku adalah 0430xxxxxx.

Dia lalu bertanya, “Punya account FB?”

Yang aku jawab dengan, “Ada.”

Lalu aku tambahkan, “Cari saja Angelika Riyandari. Nanti kan ketemu. Soalnya foto profilenya foto “brambang” (onion) jadi nggak jelas.”

Teman itu lalu tertawa tertahan dan berkata, “Wah… kalau di Facebook, namanya diganti. Jadi lebih keren…

Dia memandangku dengan penuh pengertian disertai senyum penuh arti.

“Enggak ganti kok bu, itu nama asli saya,” jawabku merendah sambil dalam hati sebenarnya tertekan (untuk misuh).

Salahkah aku karena orang tuaku memberiku nama yang “keren”? #galauer

(ctt. Kata “galau” adalah kata yang sedang naik daun di paruh akhir tahun 2011 ini, jadi aku berusaha untuk menempatkan kata itu kapan pun aku membuat tulisan. Tak peduli pas atau tidak dengan konteks. :p supaya kelihatan gahul. Begitu).

Friday, September 23, 2011

It's funny 2 see u grow old...

Hey you over there
It’s funny to see you grow old
While I don’t feel like I am growing old
I stay young, you know

I see you there
Inside your posh car
The mark of success career
But friend, you’re truly growing old

People say that you will only see what you want to see
In a way that’s true, very true …
I see only what I want to see
The younger version of me

I don’t care whether I am wrong or right
It’s just so funny to see you growing old
While I stay the same.

Tuesday, September 20, 2011

Anton dan tidurku

Nggak tahu kenapa, manusia yang namanya Antonius Aditia Maharjuni tuh emang suka sirik sama aku. (Padahal aku sayang sama dia lho… ;p).

Salah satunya waktu aku yang sudah sangat sangat lelah (tapi masih harus mengajar sorenya) memutuskan untuk berbaring dan memejamkan mata sebentar di lantai kantorku beralaskan jaket dan berbantal tas ranselku. Aku sebelumnya sempat bilang ke Anton kalau aku ngantuk dan mau tidur sebentar dan dia tampaknya bisa mengerti keinginanku karena kemudian aku lihat dia keluar dari ruangku dan sepertinya menghargai keinginanku untuk tidak diganggu.

Aku baru saja memejamkan mata dan sudah nyaris terlelap ketika tiba-tiba ada orang yang mengguncang-guncangkan badanku, berusaha membangunkanku dan bilang,

‘Mbok…mbok … jarene arep turu? Mbokkkk… mbokkk… jare arep turu!’


Aku membuka mataku dengan berat dan melihat Anton jongkok di sebelahku.

Dengan susah payah aku membuat diriku sadar, menyingkirkan jaket dan tas ranselku sambil berdiri dan berkata,

‘A**!’

dan pergi meninggalkan Anton yang wajahnya bersinar bahagia.

Ps. A** = binatang berkaki empat yang biasa dijadikan kata untuk memaki dalam bahasa Jawa. Aku jarang sekali memaki apalagi menggunakan kata ini kecuali kalau aku sudah sangat marah.

Saturday, September 17, 2011

Dan akhirnya ...

"Ayo pulang."
"Sebentar, pekerjaanku belum selesai."

"Kamu dimana? Aku masih menunggumu di sini."
"Sebentar, tinggal sedikit. Kalau sudah selesai, aku akan ke sana."

"Jadi nonton kan?"
"Ehhmmm... kalau lain kali aja gimana? Pekerjaanku masih banyak."

"Ngopi yuk."
"Nggggg... aku capai, besok harus bangun pagi. Pekerjaanku belum selesai. Jangan sekarang ya?"

Aku bertemu denganmu setelah aku terlanjur mengawini pekerjaanku. My top priority is my work. Seperti kencan dengan kekasih gelap, seribu satu alasan kuberikan kepadamu karena aku tak ingin meninggalkan cinta pertamaku itu.

Dan ...
Kau akhirnya pergi ...

Aku tahu saat itu aku melukai hatimu, melukai egomu. Aku terlalu tinggi hati untuk mengatakan maaf padamu. Aku membiarkanmu pergi. Aku juga tak mengijinkanmu mengungkapkan rasamu padaku.

Aku tidak tahu aku harus menangis, patah hati, atau harus apa.
Yang aku tahu, aku tak akan bisa menahanmu dan memintamu untuk selalu mencintaiku tanpa mau mencintaimu dengan sepenuh hati.

Aku tahu kamu membutuhkan seseorang yang selalu mendampingimu, mengerti kamu, menyayangimu dan selalu ada untukmu. Dan aku bukan orang yang tepat untukmu.

Aku memasang mata dan telinga untuk selalu tahu kamu ada dimana dan sedang apa. Namun aku berusaha untuk tak memakai rasaku. Kau temanku, aku ingin tahu bahwa kamu selalu baik-baik saja.

Dan...
Kau menemukan kekasih baru...

Aku tahu kamu bahagia karena menemukan cintamu. Aku tahu bahwa kau menemukan kekasih yang kau cari.

Aku tidak tahu aku harus menangis, patah hati, atau harus apa.
Yang aku tahu, aku tak akan bisa menahanmu dan memintamu untuk selalu mencintaiku tanpa mau mencintaimu dengan sepenuh hati.

Kekasihmu memberikan hal yang tidak bisa kuberikan kepadamu. Dia memberikan hatinya padamu. Dia memberikan perhatiannya padamu. Dia memberikan waktunya untukmu.

Otakku mengatakan kalau sudah sewajarnya kamu menemukan seseorang yang baru. Bibirku tersenyum, mataku kering. Namun hatiku patah dan berdarah. Kau temanku, aku ingin kau melihat bahwa aku baik-baik saja.

"Hai. Lama nggak kedengar kabarnya. I miss you."
"Hehehehe ... sorry ... aku lagi sibuk. Banyak pekerjaan nih."
"Kapan-kapan kita makan bertiga yuk."
"Yuk. Kalau pekerjaanku sudah tak terlalu banyak, aku kabarin."

Aku menutup telepon, menekan rasa sakit di dadaku, menahan airmataku supaya tak jatuh, mengganti lagu "Someone like you" milik Adele dengan "Check Yes Juliet" milik We The Kings, dan melanjutkan pekerjaanku.


*kutulis untuk seorang kawanku, "It's hard to let go but sooner or later... memories will fade ... "

Wednesday, September 14, 2011

Kau dan Pohon

Kau berdiri di depanku dan tiba-tiba bilang: “Aku ingin jadi pohon.”

Waktu kutanya kenapa, kau bilang: “Karena pohon memberikan hidupnya pada orang lain tanpa pernah menangisi pengorbanannya.”

Tuesday, September 13, 2011

Kenapa menulis??

Aku sedang menulis ‘ekspressi hatiku’ ketika seseorang lewat dekat meja kerjaku dan berhenti untuk bertanya tentang hal yang sedang aku kerjakan. Sambil nyengir karena ketahuan tidak sedang mengerjakan thesis-ku, aku bilang ke dia kalau aku sedang ‘menulis’. Ketika aku ditanya sedang menulis apa, aku tunjukkan tulisanku di laptop. Ketika dia tahu bahwa tulisanku adalah prosa dalam bentuk puisi, tahu apa yang ditanyakan ke aku? Pertanyaannya adalah: ‘Untuk siapa tulisan itu?’. Aku terhenyak sejenak sebelum aku bilang kalau tulisan itu bukan untuk siapa-siapa. Aku menulis karena aku ingin menulis dan ada yang ditulis.

Kenapa orang sering punya pikiran seperti itu ya? Kalau menulis puisi berarti sedang jatuh cinta atau sedang putus cinta. Cinta memang ‘source’ yang tidak pernah kering buat aku. Tapi bukan berarti aku ada pada kondisi konstan ‘jatuh cinta’ atau ‘patah hati’ pribadi. Kalau ‘iya seperti itu’, bisa kacau pekerjaanku.

Yang ada sering kali adalah ‘sedang sensitif’ saja terhadap hal-hal di sekitarku, yang setelah aku semakin tua, semakin bisa dan gampang dihubungkan dengan hari-hari dan pengalamanku di masa lalu. Dan muncullah ‘ekspressi2 hati’ yang secara factual dan actual tidak selalu 100% bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, tapi intinya bernuansa ‘seperti itulah…’. Atau ada pengalaman teman atau orang lain di koran yang membuatku ‘tersentuh’ dan ‘mengekspressi’kannya. Atau sedang ndengerin lagu dan tiba-tiba punya ide. Atau kadang juga waktu ngelamun or bangun tidur or sebelum tidur tiba-tiba ada selintas phrase yang lewat di depan mata yang akhirnya jadi ‘ekspressi’ hati. Kadang juga lagi 'annoyed' sama hal2 tertentu, ya daripada jengkel nggak jelas juntrungnya mending ditulis aja. Atau cuma sekedar pengin berbagi...

Begitu…

Saturday, September 10, 2011

Coffee @Perth... tak ada beda kelas sosial

Minum kopi bukan karena pecandu kopi tapi pencandu "break" dari kegiatan menulis thesis yang "membunuhku"... membuatku "terpaku" dan "terpesona" ketika pertama kali minum kopi di cafe Reid Library. Mata ini menatap daftar harga kopi sambil otak sibuk mengkonversi dollar ke rupiah.

Cappuccino 3.80
Latte 3.80
Black Coffee 2.70
Espresso 3.40
Flat White 3.60

Begitulah kira-kira deretan angka yang ada di papan itu.

Aku celingukan ke kanan kiri sambil berpikir, "Apa aku salah masuk apa ya??? Ini kantin perpus kok harga kopinya setara Starbucks gini????" Tapi tak mungkinlah salah. Ini satu-satunya cafe di Reid Library dan melihat pengunjung yang lain ... ya mereka adalah mahasiswa lengkap dengan atribut laptop, textbooks, dan tampang kucel karena beban assignments (atau karena kebanyakan mabok, aku nggak tahu ding). Singkatnya karena sudah kepalang basah berdiri di depan cashier, aku memesan Latte dengan pertimbangan aku tidak doyan black coffee dan espresso, aku masih punya cappuccino instant di rumah, dan aku tidak tahu Flat white itu apa. Perpisahanku dengan uang 3.80 dollar itu serasa menyakitkan... :(.

Tapi benar kata orang, "there is always the first time for everything", so setelah kejadian itu dimana pun aku beli kopi di seputar kampus: di cafe Guild, di University Club, di cafe dekat Winthrop building, aku sudah tidak "sakit hati" dengan harga yang tertera di situ.

Tentu saja hobi menikmati cafe yang menjual kopi ini pada akhirnya menjerit-jerit menuntutku untuk mencoba menikmati cafe di luar kampus. Setiap melewati Tianmo, The Coffee Club, Cino, Dome ... hati ini berteriak untuk singgah. Tapi otak menolak dengan rasionalisasi begini: "Harga kopi di kantin Universitas di Semarang adalah 5000 rupiah, harga kopi di Starbucks adalah sekitar 40000 ribu rupiah. So harga kopi di Starbucks adalah 8 kali lipat harga kopi di kantin Universitas. Nahhh kalau hal yang sama terjadi di Perth, maka untuk secangkir kopi di The Coffee Club (maaf, tidak ada Starbucks di Perth, terlalu Amerika kata orang-orang local) maka aku harus membayar 8 x 3.80 untuk secangkir Latte. Yang sama dengan 30.4 dollar. Yang artinya adalah "ngajak kere" kata orang Jawa (trans. menjadikan orang seperti gelandangan)."

Jadi dan jadi... demi keselamatan kantong... hasrat hati akan kopi bisa ditangguhkan. Kebetulan orang-orang Indonesia yang aku kenal waktu itu bukan penggemar kopi di cafe karena mereka adalah mahasiswa2 yang serius, studious dan tidak hobi nongkrong, jadi aku tidak bisa menanyakan harga kopi di Miss Maud... misalnya begitu.

Namun... hati sungguh bukan hal yang mudah untuk ditaklukkan... karena akhirnya aku mengalah pada hasrat terpendamku itu ... yaaahhhh... kalah terhadap one of the seven deadly sins ... gluttony ... rakus ... hehe

Dan ... dengan mengeraskan hati sekeras baja, aku melangkah ke The Coffee Club...


(sebenarnya waktu itu aku bersama Goen, tapi dia harus ran an errand untuk membeli sebuah barang yang aku lupa apa, jadi dia dengan cueknya menyuruh aku masuk ke The Coffee Club itu dulu).

Untung antrean pesannya cukup panjang, jadi aku bisa punya kesempatan untuk membaca harga kopi di papan (yang aku baca bukan jenis2 kopi lho ya... tapi harga kopi itu... hehehehe).

Aku lihat papan menu dan harganya.

Aku berusaha lagi melihat dengan jelas...

Melihat dengan lebih cermat lagi...

Dan ...
Seketika ...
Aku,
Lega.

PLOOONNNGGGG...

HARGA YANG TERTERA DI PAPAN ITU SAMA DENGAN HARGA KOPI DI KANTIN REID LIBRARY...!!!


Sejak itu aku mencoba ke tempat-tempat lain juga... tidak semua harga kopi sama, tapi setidaknya tidak terpaut jauh berkisar AUD 4. Not bad. Sepertinya ada standarisasi harga kopi.

Sooo entah kamu itu minum kopi di kantin perpustakaan atau kamu minum kopi di The Coffee Club, uang yang keluar tetap sama. Beda dengan di Indonesia, setidaknya di Semarang, dimana kamu bisa membuat dirimu "naik ke kelas sosial yang lebih tinggi" hanya karena segelas stereofoam Starbucks, di Perth ini... kamu tidak akan naik kelas hanya karena kamu minum kopi di sebuah Cafe.

Thursday, September 8, 2011

All you need is SLOTH ...

Cerita singkat tentang Yogis dan Dito, my sons:


Ditengah-tengah berusaha menyelesaikan salah satu chapter thesis-ku, aku yang kelelahan secara fisik dan emosional ini masih diributi lagi dengan dua anak yang riuh rendah guyon nggak jelas juntrungnya di dalam ruang kerjaku. Aku sudah meminta mereka untuk tidak mengganggu tapi:

Dito bilang, "But I need the internet to do my presentation project!!!" (laptop yang ada koneksi internetnya hanya satu, ya laptop yang aku pake).

dan

Yogis bilang, "No one is with me."

Di unit yang cuma seupil besarnya ini, mereka selalu saja punya alasan untuk meributiku di ruang kerja yang sempit.

Illfeel... jadi kubiarkan mereka sejenak menguasai ruangku untuk kemudian akan kuminta secara baik-baik untuk keluar.

RIOTTSSS!!! ... mereka saling mengejek... yogis lari ke pangkuanku karena dikejar kakaknya... dan kakinya tanpa sengaja terjerat kabel headsetku dan berkumandanglah suara The Beatles menyanyikan:

"All you need is love ... tet tero rerot ... All you need is love ... tet tero rerot ... All you need is loveooo ... Love is all you need..."

Dan tahu-tahu mereka berdua berhenti dan menyimak lagu itu ...

Setelah diam selama 5 detik (kira-kira begitu),

Dito berkata, "All you need is SLOTH???"

Aku jawab, "All you need is love."

Tapi Yogis sudah terlanjur mendengar komentar kakaknya, dan dia mulai tertawa terpingkal-pingkal. Dan mereka berdua lalu bernyanyi (mengikuti lagu The Beatles):

"All you need is SLOTH... All you need is SLOTH ... All you need is SLOTHooo ... Sloth is all you need..."

Aku yang tadinya kesal, jadi ikut tertawa.


Ps. Sloth adalah sejenis binatang yang hidup di jaman es. Sekarang sloth raksasa sudah punah. Binatang ini menjadi tenar karena menjadi salah satu karakter utama di film animasi "Ice Age" dengan nama SID. Dia adalah tokoh yang sangat tengil... "nggapleki" kata orang Semarang.

Wednesday, September 7, 2011

Dany dan Sepeda

Hal yang pertama kuingat tentang Dany dan impiannya punya sepeda adalah ketika dia bercerita padaku kalau dia mengumpulkan kupon (?) yang didapat dari pembelian cat merek tertentu. Kupon-kupon itu dalam jumlah tertentu (1500??) akan bisa ditukarkan dengan sebuah sepeda (harap dicatat bahwa dia tidak membabi buta membeli untuk kemudian mengkoleksi cat ribuan kaleng tersebut tapi berhubung orang tuanya mempunyai toko material maka dia berhasil mengumpulkan kupon dalam jumlah buuuanyak).
Namun tampaknya usaha dia itu tidak membuahkan hasil karena sebelum jumlah kupon memenuhi persyaratan untuk ditukar dengan sepeda, periode penukaran kupon cat tersebut sudah berakhir. Ugh ... kisah yang berakhir sedih... #menangis

Tapi nampaknya memiliki sepeda sudah menjadi obsesi tersendiri buat Dany karena setelah kisah tragis kupon berhadiah itu, dia masih dengan semangat bercita-cita untuk membeli sepeda.

Sampai dia lulus (dan langsung kerja) dan sampai aku terbang (tanpa sayap) ke pojok belahan bumi bagian selatan ini, Dany belum juga membeli sepeda.

Berita bahagia baru muncul kemudian ketika pertengahan tahun lalu dia akhirnya bisa membeli sepeda yang harganya juta-juta (entah berapa tepatnya tapi yang pasti nol-nya banyak). Lalu setelah itu lagi, dia membeli sepeda dengan nama genit "SELI" ... yang kukira semula adalah nama perempuan centil atau paling tidak nama anjing pudel berpita merah jambu lucu (hubungannya apa coba?)yang aku tidak tahu dia beli dengan berapa nol. Lalu aku dengar lagi dia mau membeli sepeda lain lagi... entah sudah jadi beli entah belum. (ctt. untung setelah itu aku tidak mendengar lagi dia beli sepeda apa lagi dan aku berharap memang dia tidak membeli sepeda lain lagi. Karena kalau dia membeli sepeda lagi, blogku ini pasti akan jadi membosankan karena akan berisi kronologi pembelian sepeda milik Dany... ok??).

Setelah punya sepeda, Dany bergabung dengan komunitas sepeda di Semarang dan dia jadi sering bersepeda kemana-mana mana mana mana mana ... wis pokoknya ke banyak tempat (betisnya jadi gedhe nggak ya??? hehehe... #membayangkanbetisDany ... wkwkwkwkkwk ... tapi aku tak berpikiran kotor lho ya). Sayangnya Dany dan sepedanya hanya ada dalam cerita karena sesungguhnya sampai saat ini aku belum pernah melihat Dany naik sepedanya. Di liburku yang pendek kemarin pun aku tidak sempat melihat dia bersepeda. Mungkin dia tidak mau meminjamkan sepedanya padaku, takut kalau sepedanya ketularan gila-ku.

Anyway... kisah Dany dan sepedanya berakhir dengan bahagia. Terakhir yang membuat aku mengangkat jempol untuk dia adalah ketika dia mengendarai sepedanya dari SOLO-SEMARANG... Solo ke Semarang saudara-saudara, 101 km lebih ... dengan waktu tempuh 10 jam. SIP ... SIP ... SIP ... Aku angkat jempol buat dia karena aku tak akan mau (dan mampu) naik sepeda sejauh itu. Naik sepeda motor pun aku tak mau. Maklum sudah tua, jadi tahu diri. Bisa masuk angin nggak keluar-keluar nantinya.

JADI, moral of the story adalah Jangan pernah berhenti bermimpi dan berjuang untuk meraih mimpi itu karena kalau kamu benar-benar menginginkan sesuatu dan kamu berjuang untuk mendapatkannya, kamu pasti akan berhasil. Seperti Dany yang akhirnya mendapat sepeda yang dia impikan.

SELAMAT ULANG TAHUN DANY-BOY ...
Semoga kamu bisa meraih semua hal yang kamu inginkan. Semoga kamu bisa bersepeda keliling Eropa seperti guru Gis (Mrs Only) yang pada usianya yang ke 60+ menempuh 4300 lebih km...
7 September 2011

Sunday, September 4, 2011

It's about Choice ...

Dapat text dari Danty bahwa dia sekarang mengajar di suatu tempat dengan bayaran 5000 rupiah per jam (padahal kalau les private biasanya dapat 60000 rupiah satu session), rasanya jadi nggak tega sama dia. Bukannya aku mata duitan atau itungan, aku juga tidak tahu harga pasaran orang yang ngasih kursus berapa, tapi 5000 rupiah? Yang bener aja... apa nggak rugi di ongkos transport ya?

Aku konfirm tentang pilihan kerjanya itu via Twitter dan dia tweet balik:

"ƗƗɑƗƗɑƗƗɑ tp aku senang kok. Jd ngerasa susah cari duit. Biasanya mudah :D RT @48ikecool: rumah piyik? baguslah, tak tega aku baca text-mu kemrn..."

Ahahahaha ... iya deh ... baguslah kalau dia belajar bahwa cari duit itu susah ... jadi dia tidak akan "taken for granted" kemudahan dan fasilitas yang selama ini dia rasakan. #akubersyukur

EEEEiiiiTTTssss ...bentar... ada sedikit hal yang mengganggu di sini...

Danty bisa dengan gampang, INDAH, dan mengharukan bilang bahwa dia jadi bisa "belajar" kalau cari duit itu susah karena DIA PUNYA PILIHAN. Dia punya pilihan untuk TIDAK bekerja di tempat yang hanya membayarnya 5000 per jam itu.

Pertanyaannya adalah:

"Apakah orang yang tidak punya pilihan dan terpaksa mengambil pekerjaan dengan bayaran 5000 per jam itu juga akan bisa dengan ringan mengatakan bahwa dia jadi bisa "belajar" bahwa cari uang itu susah?"

Aku khawatir kalau orang yang tidak punya pilihan tapi harus menerima bahwa dia dibayar rendah untuk kerjanya itu tidak bisa lagi menikmati kata "belajar bahwa hidup itu susah" karena buat dia hidup itu memang bener-bener susah. Dia tidak akan punya waktu lagi untuk merefleksikan makna "belajar" itu.

Sama waktu Igor pasang status di Facebook, mengeluh kalau selama dia kuliah di Bandung, dia hanya mengkonsumsi mie instant. Masalahnya adalah dia punya PILIHAN (kalau dia mau mengurangi rokok, konsumsi alkohol, nonton bioskop, dan jalan2 yg tidak perlu) untuk meningkatkan gizinya.

Aku membayangkan bahwa orang yang tidak punya pilihan untuk makan yang lain kecuali mie instant pasti tidak akan sempat mengeluh. Mereka tidak punya waktu untuk itu... untuk sekedar mengeluh... karena hidup mereka sudah sulit.

Jadi, berbahagialah orang yang masih bisa "belajar", masih bisa "mengeluh", dan masih bisa "merefleksikan kata2 orang dan menuliskannya" (seperti aku sekarang ini), karena itu berarti hidup orang itu belum benar-benar MENDERITA ... Masih punya WAKTU untuk "MERASAKAN PENDERITAAN" itu merupakan anugerah tersendiri ...

Saturday, September 3, 2011

Welcome back jadi orang Jawa ...

Nge-blog aja deh, biar agak tenang jadi habis itu bisa kerja lagi or tidur nyenyak. Begini ceritanya. Tadi sudah siap kerja tiba-tiba dapat sms dari Goen. Masalah keluarga. Bukan keluarga inti tapi keluarga extended. Masih inner circle. Goen bercerita dan minta pendapat karena dia bingung tentang how to deal with that family matters.

Aku cuma menjawab dengan, "Welcome back jadi orang Jawa ..."

Bukan nggak mau ngaku jadi orang Jawa, bukan. Bukan pula nggak bangga jadi orang Jawa, bukan. Tapi emang jadi orang Jawa itu ribet. Serba nggak jelas. Ketika ada disagreement, wajah tetap tersenyum mulut tetap berbicara manis. Baruuu setelah tidak di depan mata alias di belakang, muncul masalah.

Heyyyyy... what's up man???

Buat aku yang berhati tumpul ini... aku tidak bisa mengerti. Lahir di Jawa, besar di Jawa, dengan orang tua Jawa, tidak juga bisa membuatku memahami cara komunikasi orang Jawa.

Secara singkat aku cuma bilang, aku bodoh when it comes to main tebak-tebakan maksud hati seseorang. I call a spade a spade. A ya A buat aku. Kalau tidak setuju bilang, ayo berantem, aku bisa menangis, aku bisa mengamuk, aku bisa tersinggung, tapi urusannya jelas. Sudah ya sudah semua jelas. Kalau aku salah ya aku terima malu. Kalau aku benar ya jelas posisiku.

Salah satu usulku tadi adalah mengumpulkan semua orang yang berkepentingan terus di klarifikasi dengan jelas siapa yang ngomong apa dan apa maksudnya, dengan tunjuk hidung, nama dan identitas (kalau perlu pake tes darah or tes DNA sekalian). Lalu jelaskan posisi dan keputusan kami. Sudah. Urusan selesai. It might hurt, tapi no hard feeling.

Tapi berhubung kami orang Jawa pasti tidak bisa begitu.

Dan gara-gara hal tadi, Goen berpikir mau apply permanent resident di Australia aja sekalian... yaaaahhhh ...