Wednesday, December 24, 2014

Setelah kau pergi

Setelah kamu pergi
Aku punya litany baru
“I’ll be ok, I’ll be all right, I’ll be fine”
yang kuucapkan berkali-kali setiap kali aku ingat kalau kau tak ada bersamaku lagi
aku mencoba memahami kepergianmu
aku berusaha menerima ketakmampuanku untuk bersamamu
Every night before sleep I make myself promise not to dream about you.
Every morning right after I wake up I swear to myself not to think about you.
Every day I chant the same affirmation again and again.

But how can I not dream about you when my brain is full with memories of you.
How can I not think about you when every single part of this city reminds me of you
I’ll do whatever it takes to erase you from my mind
If only I have to…

Sunday, November 16, 2014

Aku menanti dirimu

Kalau kau tak bisa menemukanku, aku yang akan mencarimu
Aku ingat kau pernah berkata itu padaku
Kau tak perlu mencariku karena aku selalu ada untukmu
Di tempat yang sama, di waktu yang sama
Duniaku tak mau berubah setelah kau pergi
Musim tak berganti, waktu berhenti
Aku menanti kau kembali

Tuesday, October 28, 2014

Gadis kecil dalam Kristal

Gadis itu tinggal di alam indah dengan dinding-dinding pualam dan langit-langit kristal
Dia tinggal di dalam kristal bening indah yang keras
Dia melihat kotor menerpa kristal itu
Dia menghapusnya dengan air mata
Dia mengunci diri rapat-rapat di dalam kristal itu
Hanya dia yang boleh tinggal di dalamnya
Tidak semua orang boleh mengunjunginya
Dia hanya membuka pintu pada orang-orang yang dia mau
Dia melihat dunia dari balik kristalnya
Dunia yang sama sekali berbeda
Dunia yang keras dan kejam
Dunia yang penuh air mata dan darah
Dia hanya bisa menangis melihat semuanya
Berharap semuanya berubah dengan sendirinya
Supaya pekat yang menyelimuti kristalnya bisa hilang
Awan-awan kelabu itu bisa tersingkir
Dia tak bisa menyentuh
Tapi dia bisa merasakan semua itu dengan hatinya
Dia menghapus penderitaan dengan air mata
Dia memberikan darahnya untuk orang lain
Take everything you want from me
Karena untuk itulah dia hidup
Dia ingin semua orang seperti dirinya
Bahagia, gembira tanpa kesedihan, tanpa kemarahan
Di dalam hatiku lah gadis kecil dalam kristal putih berada
Semakin aku besar, semakin kecil dia
Dia menangis ketika aku sedih
Dia menangis ketika aku marah
Dia menangis ketika aku menderita
Dia diam di sana menjaga nuraniku
Dia tak mengerti dunia, dia tak mengerti apa-apa
Dia tak mengerti kenapa orang berubah
Dia tak mengerti kenapa orang manipulatif
Dia tak mengerti kenapa orang harus saling menyakiti
Dia tak mengerti kenapa orang saling menyalahkan
Dia tak mengerti kenapa orang melupakan yang lain
Dia tak mengerti…

Saturday, September 13, 2014

Site of oppression ... site of resistance ...

‘Site of oppression’ and ‘site of resistance’, dua kata itu membuat aku berefleksi tentang relasi antara mahasiswa dan dosen.
Mahasiswa buat aku adalah ‘a site of oppression’, suatu unit yang bisa aku ‘jajah’. Bisa aku minta berbuat sesuai dengan yang aku inginkan ‘for the sake of’ kurikulum, aturan yang ada, tujuan dan misi Fakultas, idealisme pribadi, dll. Jujur, banyak kali aku sebagai dosen menganggap mahasiswa adalah obyek sekaligus subyek pasif yang kutemui di kelas dan kujejali dengan apa yang tersurat di kurikulum, yang kusampaikan sesuai versi pemahamanku. Dan banyak kali aku bangga dan senang ketika mahasiswa itu mengangguk-angguk setuju. Apalagi waktu mid-term test atau final test dan mereka menjawab sesuai dengan apa yang aku ajarkan. Jawaban benar=nilai bagus=dosen berhasil. Sederhana bukan?
Dalam kegiatan mahasiswa, personally, aku sebagai dosen merasa mempunyai ‘privilege’ untuk memutuskan hal-hal apa saja yang ‘terbaik’ untuk mahasiswa. Aku lebih tua, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahu.

Tapi pada saat yang sama sebenarnya aku ingin mahasiswa jadi ‘a site of resistance’, sebuah unit yang terus menerus melakukan ‘perlawanan.’ Di kelas, aku ingin mereka punya pemikiran kritis terhadap apa yang mereka terima. Bukan ungkapan seperti ‘dosennya mbuat ngantuk’, atau ‘kuliahnya mboseni’ seperti yang sering tertulis dalam unek2 mahasiswa (Lha kalau gitu aku juga bisa bilang ‘apa kamu pikir saya juga nggak enek ngeliat anda2 yang sering2nya cuma ngah-ngoh di kelas?’ :p…). Tapi lebih ke ‘Saya pikir teori yang ibu pakai itu sudah tidak cocok untuk situasi kami sekarang ini’ atau ‘Kenapa kita harus belajar ‘present tense’ dulu baru ‘past tense’? Bukannya kita lebih banyak pakai ‘past tense’ dalam percakapan sehari-hari?’
Di kegiatan mahasiswa, aku juga ingin dengar argument2 yang masuk akal tentang apa yang ingin mahasiswa kerjakan. Karena orang yang dianggap ‘smart’ adalah mereka yang mau dan mampu ‘Learn, Plan, Solve Problem’. Aku beberapa kali dilanda perasaan ‘tidak puas’ ketika mahasiswa yang mau berkegiatan hanya bilang ‘yes mam’ atau ‘kami menunggu ibu saja.’ Kok nurut banget ya? Kok nggak ada perlawanan? Ini sebenarnya ‘nurut’ apa ‘rusa buta’? (blind deer = no eye deer = no idea). Apa ini upaya menghindar dari tanggung jawab kalau ada apa-apa?

Memang tidak gampang buat aku yang dosen ini untuk duduk diam dan ‘patiently’ mendengarkan apa keinginan mahasiswa dan apa yang mereka rasakan. Sering kali waktu aku mendengar ‘unek-unek atau usulan mahasiswa’ yang ada dalam hatiku adalah ‘Halah! Kaya ngerti2o dhewe’ or ‘Kuwi maneh kuwi maneh… bosen ah’ or ‘Kowe ki ngerti apa?’ or ‘Kok mung ngono ya? Rak mutu babar blas.’ Aku sering lupa kalau aku dulu pernah juga (dan masih) pada posisi ‘goblok’, ‘bodoh’, ‘sok tau’, ‘ora mutu’; dan itu merupakan prosesku untuk jadi dewasa. Stage itu nggak bisa dilompati tapi harus dijalani. Saat ini aku sering mengingatkan diriku sendiri bahwa mahasiswa bukan obyek yang bisa aku suruh-suruh, aku perintah-perintah, aku manipulasi, aku tekak tekuk seenak udelku tetapi mereka juga HARUS ‘didengarkan’ dan diajak berembug. Karena dengan berkomunikasi inilah aku dan para mahasiswa ini bisa saling belajar untuk menerima perbedaan dan mencari penyelesaian dalam konflik sehingga kami bisa menjadi ‘dewasa’ bersama.


Nb. Aku meng-‘ignore’ fact that kedua kata ini dipakai dalam konteks dominant vs minoritas di dalam teori-teori seperti cultural studies, postcolonialm, feminism, karena aku merasa ragu untuk mengklaim bahwa dosen adalah ‘dominant’ sedang mahasiswa adalah ‘minority’ dalam konteks umum (diluar pengalaman pribadiku).

Saturday, August 9, 2014

not today

I love you always
But not today
Today I wanna break
From the things I know
From the things I do

Monday, June 23, 2014

Aku tak pulang untukmu

Aku adalah burung yang sudah terbang jauh dari sarangku.
Dan sarang yang dulu bukan lagi sarang yang aku kenal.
Sekalipun aku singgah ke sarang itu ditengah terbang panjangku,
Tempat itu tak lagi punya arti sama di hatiku,
Sama seperti kita berdua yang sudah menjadi orang-orang yang berbeda dengan berjalannya waktu…
Aku tahu kamu ingin aku pulang.
Aku pun ingin pulang.
Namun aku ingin kamu tahu satu hal.
Kalaupun aku pulang, aku tak pulang untukmu.
Aku pulang hanya untuk singgah sebentar untuk kemudian pergi lagi.
Singkatnya waktu singgahku tak memungkinkanku bersamamu.
Aku tak berani membuat janji.
Aku takut mengecewakanmu.
Aku takut membuatmu sedih.

Sunday, May 18, 2014

Flirting in FB

Flirting sama orang yang baru kenal di FB? Haha… nggak tahu ya. I am not a flirt, I am a serious person. Tapi kalau kepala lagi pusing dan otak sudah nggak sanggup merangkai kata lebih dari 5 kata berturut-turut, chatting yang nggak jelas sering terjadi. Meski most of the time I have my on-line chat off, ada aja yang sempat ‘menangkapku’ saat on-line chatku on. Biasanya melibatkan anak (ANAK) ingusan yang entah kenapa selalu tak pernah mengecek info FB-ku lebih dulu sebelum ngajak ‘chat’ atau mungkin mereka tak percaya sama info2 di FB yang sering menyesatkan. Check them out:
@-ike, FNG (fvking new guy)

1.
FNG - Thanx udh di-add
@ - sama-sama
FNG - Masih sekolah apa kerja?
@ - kerja
FNG - Dimana?
@- di semarang. Ngajar bahasa Inggris.
FNG - Pinter bahasa Inggris dong.
@ - ya gitu deh
FNG - Aku pengin belajar bahasa inggris
@ - bayar! :D
FNG - nggak gratis?
@ - tekor kl semua minta gratis.
FNG - Cuma buat aku
@ - business is business
FNG - Hahahahaha matre ternyata
@ - biar! :p

etc., etc….

2.
FNG – Hai
@ - Hai juga
FNG – rumahmu Manyaran?
@ - iya
FNG – rumahku juga di Manyaran.
@ - O ya?
FNG – main ke rumah boleh?
@ - aku sdg nggak di semarang
FNG – dimana?
@ - western Australia, sekolah
FNG – masak?
@ - eh bener ya. Dapat beasiswa.
FNG – kuliah?
@ - iya S3
FNG – udah tante2 ya ternyata
@ - jadi ibumu juga pantas :p
FNG – umurmu berapa?
@ - baca info dong. Infoku valid.
FNG – 20 apa 30-an?
@ - Lahir 1971
FNG – 30-an berarti ya?
@ - matematikamu pasti jelek ya :p
FNG – Pengin main ke Australia
@ - Ayok aja
FNG – Nggak punya uang

etc. … etc. …

3.
FNG – malam2 kok masih ol
@ - kamu juga ol
FNG – lagi apa?
@ - belajar
FNG – hahahahaha
@ - kok ketawa?
FNG – knp enggak?
@ - lg pusing kok diketawain 
FNG – terus harus apa?
@ - ya dihibur gitu
FNG – ya udah, diulang
@ - ak lagi pusing belajar 
FNG – belajar yang rajin biar nilainya bagus.
@ - yaaahhhh… gariinggg… :p

etc. etc…

Monday, April 21, 2014

Serpihan jiwa

Aku menawarkan padamu apa yang tak bisa kulakukan
Ketika tiba waktunya kau datang untuk menagih janjiku

Aku tak sanggup melihatmu
Tanpa melihatmu pun aku tahu apa yang kau lakukan
Kau berlutut dengan dua tangan terbuka didepan dada
Dua tangan dengan hatimu diatasnya
Memintaku untuk menerima hati itu

Bayangan rantai, pisau cukur, dan besi panas berkelebat di depanku
Aku bisa merasakan dinginnya rantai itu
Bahkan sebelum rantai itu mengikat tanganku
Aku bisa merasakan pedihnya kulit kepalaku
Bahkan sebelum rambut di kepala ini dicukur paksa
Aku bisa merasakan sakitnya luka bakar
Bahkan sebelum besi panas membara itu dicapkan di dada kiriku

Tidak…
Aku tak mau sakit
Tidak…
Aku tak mau menderita
Tidak…
Aku tak mau disalahkan

Aku tak mau melihatmu
Aku tak bisa menerima pemberianmu
Aku berdiri kaku kelu melantunkan kata ‘tidak’ dan ‘maaf’ ribuan kali
Aku membutakan mataku menulikan telingaku menumpulkan rasaku

Tapi aku tak mampu meninggalkanmu

Aku biarkan tubuh ini terkoyak perlahan
Hancur menjadi serpihan-serpihan kecil dan halus
Tak bernama tak berbekas
Ringan melayang tertiup angin
Terbang menjauh darimu dan hatimu

Kadang angin membawa sisa serpihanku di dekatmu
Aku bisa melihatmu
Aku bisa menyentuhmu
Aku bisa mendengar tawamu
Aku bisa merasakan airmatamu

Ada saatnya kau menyebut namaku
Ada saatnya kau memanggilku
Ada saatnya kau mengoyak hatimu
Hati yang tak pernah lagi kau simpan dengan baik
Hati yang kau biarkan liar menghancurkan banyak hati lain

Bahkan dalam bentuk serpihan pun aku harus membayar hutangku
Hutang yang tak pernah mau kubayar, hutang yang selamanya tak bisa kubayar

Aku tak punya mulut lagi untuk meminta maaf padamu
Aku tak punya mata lagi untuk menangis untukmu
Aku tak punya tangan lagi untuk memelukmu
Aku tak punya bibir lagi untuk mengecupmu
Aku tak punya hati lagi untuk mencintaimu

Aku merasa akulah yang salah
Aku merasa aku meninggalkanmu
Aku merasa aku menghancurkanmu

Kalaupun aku tetap harus membayar kesalahanku
Aku tak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan
Serpihanku bukan abu burung phoenix yang membakar diri
Yang bisa menjelma kembali menjadi burung muda nan indah
Serpihanku adalah debu yang tak mungkin disatukan lagi

Belum cukupkan aku membayar kesalahanku dengan hancurnya diriku?
Kenapa kau masih menuntutku untuk bertanggung jawab terhadap hidupmu?

Friday, April 4, 2014

For myself and my freedom ...

Forgive me for ignoring both of you ...

For putting both of you in the bottom of my to-do list ...

For placing both of you in the furthest corner of my heart ...

I hope it is temporary ...

Although I know it is scary ... please stay there and wait for me to come back...

Always trust that I won't lose both of you: 'myself and my freedom' in the way ...


Miss you much ...

Tuesday, March 18, 2014

Why do we ‘hate’ our rivers?

This Friday’s seminar is Stephen Dobb’s study on the river (or creek as he calls it.. :D…) of Singapore. He explained the functions of this river in Singapore with all the historical backgrounds around it. He described that many cafés, business and entertainment areas and amusement parks are built along this river which make it alive and look prosperous. Off course his point is not to promote Singapore and its river but all the difficulties related to freedom of press, speech and academic in Singapore when he did his study about the river.
All and all but it is the functions of that river which really struck me. I’ve never been to Singapore (one day I’ll go there) but I’ve seen other place where rivers are really developed nicely. 150 m from my now so called home, there is a beautiful playground where you can find a place to let your children roam free and free of charge. 50 m from that ground, there is a bird sanctuary and 100 m ahead there are two small jetties where the children and adults can simply enjoy; one small coffeeshop for a glass of hot chocolate or coffee; and many benches where people can sit down and enjoy the view.
Stephen’s story about the river made me think back about our river(s). A couple of years back then (thanks to PMLP), I joined a river cruise/excursion. We had two boats cruised along Banjir Kanal Barat river. A great experience but with very sad feeling at heart. To be honest, and it was true that the river was so dirty, full of trashes. The river smelled terriblly. It was so muddy. From the river, it was not beautiful view but ‘disgusting’ view of the city. Only on the way back when I faced the sea, I could enjoy the view of afternoon horizon.
I know that it is not fair to compare the river I enjoy in Crawley with the river I (did not) enjoy in Semarang. But I want to point put that it is our attitude toward the river(s) which matters. Somehow I feel that we do not love our rivers. It is not only the matter of throwing and dumping garbages and trashes to the river but the fact that we do not “LOVE” it. We only use it. It is there for us to take for granted. We never take our time to enjoy and love them. We do not treat them as something to enjoy but something to use and abuse. And it’s bad and sad.
While many houses along the Swan Rivers here are built deliberately to face the river (they are called Riverside houses; and they are expensive to rent and to buy), many houses along our rivers are built with their ‘back’ facing the river (as I also saw in Lasem). For me, it is as if we turn our back on the rivers, our rivers. Do we hate or do we feel ashamed to see our own rivers? Or else? I wonder why.


Ps. Thames river in London is a very busy, and highly polluted (I think) river surrounded mostly with working-class neighbourhood; added with a very gloomy atmosphere of London at winter certainly did not promise anything beautiful to see. Yet when I happened to pass it by, it was beautifully dark and gloomy with yellowish reflection of streetlamps. Meaning that it was enjoyable in its own sense. Lasem river was also enjoyable. I cruised along the river with pak TR and pak Adhy, some spots offered gorgeous views look like European-style playgrounds (some photos can be seen in the Java Institute website).

Wednesday, February 19, 2014

Time

Time passes by … without saying hello, without saying good bye… why don’t you stop by so we can talk about things you and I have been through… and just wait for me to come with you… I know I’ll go if you want me to… visiting places, visiting people…but now I just want you to stay … to stand still…

Monday, January 20, 2014

A poem for those involve in helping disaster's victims

Nature dances in its own beats
Singing songs of rage and fury
Infuse darkness and despair into feeble flesh

Hope sparks where no light could break in
The torch of eternal compassions
From hearts of those who care

When tears could not be blinked back
Let them roll for they will be wiped tenderly
When screams could not be muffled
Let them voiced for they will be soothed gently
When fears could not be veiled
Let them show for they will be eased lovingly
When hearts could not be mended
Let them break for they will be tended affectionately

For life is the most precious gift
And good deeds keep it going…

*For those involving in helping victims of disasters*