Thursday, April 22, 2021

 Untukmu, hari ini

Thank you for lending me your shoulder

for only a moment

just enough to whisper,

"I am tired."

The words that should not be said aloud

The words that should be kept in silence

Wednesday, December 24, 2014

Setelah kau pergi

Setelah kamu pergi
Aku punya litany baru
“I’ll be ok, I’ll be all right, I’ll be fine”
yang kuucapkan berkali-kali setiap kali aku ingat kalau kau tak ada bersamaku lagi
aku mencoba memahami kepergianmu
aku berusaha menerima ketakmampuanku untuk bersamamu
Every night before sleep I make myself promise not to dream about you.
Every morning right after I wake up I swear to myself not to think about you.
Every day I chant the same affirmation again and again.

But how can I not dream about you when my brain is full with memories of you.
How can I not think about you when every single part of this city reminds me of you
I’ll do whatever it takes to erase you from my mind
If only I have to…

Sunday, November 16, 2014

Aku menanti dirimu

Kalau kau tak bisa menemukanku, aku yang akan mencarimu
Aku ingat kau pernah berkata itu padaku
Kau tak perlu mencariku karena aku selalu ada untukmu
Di tempat yang sama, di waktu yang sama
Duniaku tak mau berubah setelah kau pergi
Musim tak berganti, waktu berhenti
Aku menanti kau kembali

Tuesday, October 28, 2014

Gadis kecil dalam Kristal

Gadis itu tinggal di alam indah dengan dinding-dinding pualam dan langit-langit kristal
Dia tinggal di dalam kristal bening indah yang keras
Dia melihat kotor menerpa kristal itu
Dia menghapusnya dengan air mata
Dia mengunci diri rapat-rapat di dalam kristal itu
Hanya dia yang boleh tinggal di dalamnya
Tidak semua orang boleh mengunjunginya
Dia hanya membuka pintu pada orang-orang yang dia mau
Dia melihat dunia dari balik kristalnya
Dunia yang sama sekali berbeda
Dunia yang keras dan kejam
Dunia yang penuh air mata dan darah
Dia hanya bisa menangis melihat semuanya
Berharap semuanya berubah dengan sendirinya
Supaya pekat yang menyelimuti kristalnya bisa hilang
Awan-awan kelabu itu bisa tersingkir
Dia tak bisa menyentuh
Tapi dia bisa merasakan semua itu dengan hatinya
Dia menghapus penderitaan dengan air mata
Dia memberikan darahnya untuk orang lain
Take everything you want from me
Karena untuk itulah dia hidup
Dia ingin semua orang seperti dirinya
Bahagia, gembira tanpa kesedihan, tanpa kemarahan
Di dalam hatiku lah gadis kecil dalam kristal putih berada
Semakin aku besar, semakin kecil dia
Dia menangis ketika aku sedih
Dia menangis ketika aku marah
Dia menangis ketika aku menderita
Dia diam di sana menjaga nuraniku
Dia tak mengerti dunia, dia tak mengerti apa-apa
Dia tak mengerti kenapa orang berubah
Dia tak mengerti kenapa orang manipulatif
Dia tak mengerti kenapa orang harus saling menyakiti
Dia tak mengerti kenapa orang saling menyalahkan
Dia tak mengerti kenapa orang melupakan yang lain
Dia tak mengerti…

Saturday, September 13, 2014

Site of oppression ... site of resistance ...

‘Site of oppression’ and ‘site of resistance’, dua kata itu membuat aku berefleksi tentang relasi antara mahasiswa dan dosen.
Mahasiswa buat aku adalah ‘a site of oppression’, suatu unit yang bisa aku ‘jajah’. Bisa aku minta berbuat sesuai dengan yang aku inginkan ‘for the sake of’ kurikulum, aturan yang ada, tujuan dan misi Fakultas, idealisme pribadi, dll. Jujur, banyak kali aku sebagai dosen menganggap mahasiswa adalah obyek sekaligus subyek pasif yang kutemui di kelas dan kujejali dengan apa yang tersurat di kurikulum, yang kusampaikan sesuai versi pemahamanku. Dan banyak kali aku bangga dan senang ketika mahasiswa itu mengangguk-angguk setuju. Apalagi waktu mid-term test atau final test dan mereka menjawab sesuai dengan apa yang aku ajarkan. Jawaban benar=nilai bagus=dosen berhasil. Sederhana bukan?
Dalam kegiatan mahasiswa, personally, aku sebagai dosen merasa mempunyai ‘privilege’ untuk memutuskan hal-hal apa saja yang ‘terbaik’ untuk mahasiswa. Aku lebih tua, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahu.

Tapi pada saat yang sama sebenarnya aku ingin mahasiswa jadi ‘a site of resistance’, sebuah unit yang terus menerus melakukan ‘perlawanan.’ Di kelas, aku ingin mereka punya pemikiran kritis terhadap apa yang mereka terima. Bukan ungkapan seperti ‘dosennya mbuat ngantuk’, atau ‘kuliahnya mboseni’ seperti yang sering tertulis dalam unek2 mahasiswa (Lha kalau gitu aku juga bisa bilang ‘apa kamu pikir saya juga nggak enek ngeliat anda2 yang sering2nya cuma ngah-ngoh di kelas?’ :p…). Tapi lebih ke ‘Saya pikir teori yang ibu pakai itu sudah tidak cocok untuk situasi kami sekarang ini’ atau ‘Kenapa kita harus belajar ‘present tense’ dulu baru ‘past tense’? Bukannya kita lebih banyak pakai ‘past tense’ dalam percakapan sehari-hari?’
Di kegiatan mahasiswa, aku juga ingin dengar argument2 yang masuk akal tentang apa yang ingin mahasiswa kerjakan. Karena orang yang dianggap ‘smart’ adalah mereka yang mau dan mampu ‘Learn, Plan, Solve Problem’. Aku beberapa kali dilanda perasaan ‘tidak puas’ ketika mahasiswa yang mau berkegiatan hanya bilang ‘yes mam’ atau ‘kami menunggu ibu saja.’ Kok nurut banget ya? Kok nggak ada perlawanan? Ini sebenarnya ‘nurut’ apa ‘rusa buta’? (blind deer = no eye deer = no idea). Apa ini upaya menghindar dari tanggung jawab kalau ada apa-apa?

Memang tidak gampang buat aku yang dosen ini untuk duduk diam dan ‘patiently’ mendengarkan apa keinginan mahasiswa dan apa yang mereka rasakan. Sering kali waktu aku mendengar ‘unek-unek atau usulan mahasiswa’ yang ada dalam hatiku adalah ‘Halah! Kaya ngerti2o dhewe’ or ‘Kuwi maneh kuwi maneh… bosen ah’ or ‘Kowe ki ngerti apa?’ or ‘Kok mung ngono ya? Rak mutu babar blas.’ Aku sering lupa kalau aku dulu pernah juga (dan masih) pada posisi ‘goblok’, ‘bodoh’, ‘sok tau’, ‘ora mutu’; dan itu merupakan prosesku untuk jadi dewasa. Stage itu nggak bisa dilompati tapi harus dijalani. Saat ini aku sering mengingatkan diriku sendiri bahwa mahasiswa bukan obyek yang bisa aku suruh-suruh, aku perintah-perintah, aku manipulasi, aku tekak tekuk seenak udelku tetapi mereka juga HARUS ‘didengarkan’ dan diajak berembug. Karena dengan berkomunikasi inilah aku dan para mahasiswa ini bisa saling belajar untuk menerima perbedaan dan mencari penyelesaian dalam konflik sehingga kami bisa menjadi ‘dewasa’ bersama.


Nb. Aku meng-‘ignore’ fact that kedua kata ini dipakai dalam konteks dominant vs minoritas di dalam teori-teori seperti cultural studies, postcolonialm, feminism, karena aku merasa ragu untuk mengklaim bahwa dosen adalah ‘dominant’ sedang mahasiswa adalah ‘minority’ dalam konteks umum (diluar pengalaman pribadiku).

Saturday, August 9, 2014

not today

I love you always
But not today
Today I wanna break
From the things I know
From the things I do

Monday, June 23, 2014

Aku tak pulang untukmu

Aku adalah burung yang sudah terbang jauh dari sarangku.
Dan sarang yang dulu bukan lagi sarang yang aku kenal.
Sekalipun aku singgah ke sarang itu ditengah terbang panjangku,
Tempat itu tak lagi punya arti sama di hatiku,
Sama seperti kita berdua yang sudah menjadi orang-orang yang berbeda dengan berjalannya waktu…
Aku tahu kamu ingin aku pulang.
Aku pun ingin pulang.
Namun aku ingin kamu tahu satu hal.
Kalaupun aku pulang, aku tak pulang untukmu.
Aku pulang hanya untuk singgah sebentar untuk kemudian pergi lagi.
Singkatnya waktu singgahku tak memungkinkanku bersamamu.
Aku tak berani membuat janji.
Aku takut mengecewakanmu.
Aku takut membuatmu sedih.