Saturday, September 13, 2014

Site of oppression ... site of resistance ...

‘Site of oppression’ and ‘site of resistance’, dua kata itu membuat aku berefleksi tentang relasi antara mahasiswa dan dosen.
Mahasiswa buat aku adalah ‘a site of oppression’, suatu unit yang bisa aku ‘jajah’. Bisa aku minta berbuat sesuai dengan yang aku inginkan ‘for the sake of’ kurikulum, aturan yang ada, tujuan dan misi Fakultas, idealisme pribadi, dll. Jujur, banyak kali aku sebagai dosen menganggap mahasiswa adalah obyek sekaligus subyek pasif yang kutemui di kelas dan kujejali dengan apa yang tersurat di kurikulum, yang kusampaikan sesuai versi pemahamanku. Dan banyak kali aku bangga dan senang ketika mahasiswa itu mengangguk-angguk setuju. Apalagi waktu mid-term test atau final test dan mereka menjawab sesuai dengan apa yang aku ajarkan. Jawaban benar=nilai bagus=dosen berhasil. Sederhana bukan?
Dalam kegiatan mahasiswa, personally, aku sebagai dosen merasa mempunyai ‘privilege’ untuk memutuskan hal-hal apa saja yang ‘terbaik’ untuk mahasiswa. Aku lebih tua, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahu.

Tapi pada saat yang sama sebenarnya aku ingin mahasiswa jadi ‘a site of resistance’, sebuah unit yang terus menerus melakukan ‘perlawanan.’ Di kelas, aku ingin mereka punya pemikiran kritis terhadap apa yang mereka terima. Bukan ungkapan seperti ‘dosennya mbuat ngantuk’, atau ‘kuliahnya mboseni’ seperti yang sering tertulis dalam unek2 mahasiswa (Lha kalau gitu aku juga bisa bilang ‘apa kamu pikir saya juga nggak enek ngeliat anda2 yang sering2nya cuma ngah-ngoh di kelas?’ :p…). Tapi lebih ke ‘Saya pikir teori yang ibu pakai itu sudah tidak cocok untuk situasi kami sekarang ini’ atau ‘Kenapa kita harus belajar ‘present tense’ dulu baru ‘past tense’? Bukannya kita lebih banyak pakai ‘past tense’ dalam percakapan sehari-hari?’
Di kegiatan mahasiswa, aku juga ingin dengar argument2 yang masuk akal tentang apa yang ingin mahasiswa kerjakan. Karena orang yang dianggap ‘smart’ adalah mereka yang mau dan mampu ‘Learn, Plan, Solve Problem’. Aku beberapa kali dilanda perasaan ‘tidak puas’ ketika mahasiswa yang mau berkegiatan hanya bilang ‘yes mam’ atau ‘kami menunggu ibu saja.’ Kok nurut banget ya? Kok nggak ada perlawanan? Ini sebenarnya ‘nurut’ apa ‘rusa buta’? (blind deer = no eye deer = no idea). Apa ini upaya menghindar dari tanggung jawab kalau ada apa-apa?

Memang tidak gampang buat aku yang dosen ini untuk duduk diam dan ‘patiently’ mendengarkan apa keinginan mahasiswa dan apa yang mereka rasakan. Sering kali waktu aku mendengar ‘unek-unek atau usulan mahasiswa’ yang ada dalam hatiku adalah ‘Halah! Kaya ngerti2o dhewe’ or ‘Kuwi maneh kuwi maneh… bosen ah’ or ‘Kowe ki ngerti apa?’ or ‘Kok mung ngono ya? Rak mutu babar blas.’ Aku sering lupa kalau aku dulu pernah juga (dan masih) pada posisi ‘goblok’, ‘bodoh’, ‘sok tau’, ‘ora mutu’; dan itu merupakan prosesku untuk jadi dewasa. Stage itu nggak bisa dilompati tapi harus dijalani. Saat ini aku sering mengingatkan diriku sendiri bahwa mahasiswa bukan obyek yang bisa aku suruh-suruh, aku perintah-perintah, aku manipulasi, aku tekak tekuk seenak udelku tetapi mereka juga HARUS ‘didengarkan’ dan diajak berembug. Karena dengan berkomunikasi inilah aku dan para mahasiswa ini bisa saling belajar untuk menerima perbedaan dan mencari penyelesaian dalam konflik sehingga kami bisa menjadi ‘dewasa’ bersama.


Nb. Aku meng-‘ignore’ fact that kedua kata ini dipakai dalam konteks dominant vs minoritas di dalam teori-teori seperti cultural studies, postcolonialm, feminism, karena aku merasa ragu untuk mengklaim bahwa dosen adalah ‘dominant’ sedang mahasiswa adalah ‘minority’ dalam konteks umum (diluar pengalaman pribadiku).