Wednesday, November 30, 2011

Pilek

Ini cerita sangat pendek soal igor dan pilek. Karena gaya hidupnya yang habis-habisan, dia rentan sama sakit flu. Pilek terutama dan batuk, tenggorokan kering, panas… ya gitu deh… Persis seperti anak balita. Kalau lagi sehat, munyer wae (bergerak terus); kalau sakit, bruk… gitu, terkapar berat… . Sehat sedikit, udah mulai deh… main lagi sampe habis.

Suatu hari setelah dia sakit dan ‘main’ ke kantorku, dia bilang dengan bangga, “Madam, aku sudah nggak pilek lagi… … … SRROOOTTTTT… hehehe.”

*aku jadi ingat episode ini krn tampaknya aku dan teman di sebelahku persis terserang flu mendadak gara-gara cuaca yg gak jelas gini... dan kami berlomba menghabiskan tissue... srooottt ...

Wednesday, November 23, 2011

Mereka membuatku tetap "waras"

Kadang aku meragukan keputusanku sendiri untuk "keep my children with me." Sebagai mahasiswa sekaligus sebagai ibu dua anak yang tinggal di negara yang jauh dari tempat suami dan sanak saudara, juga di negara yang tidak memungkinkan aku punya pembantu, aku harus berjuang untuk membagi waktu, tubuh, pikiran, dan hati.

Secara fisik, cukup melelahkan sekalipun aku sudah berusaha untuk keep everything to minimum standard. Bangun pagi kadang dengan mata masih setengah tertutup, do the dishes, cook breakfast, prepare lunch boxes for my kids, help my youngest to ready himself to school, walk my youngest to school, go to the uni, pick up the kids from school, cook for their after school meal, back to work, cook dinner. Itu kegiatan rutinku sehari-hari. Cleaning the house and doing laundry, aku lakukan hanya satu minggu sekali.

Secara emosional juga kadang "draining". Ketika butuh konsentrasi untuk menulis thesis, anak-anak "argue" dan berakhir dengan pecahnya tangis yang kecil atau jeritan yang kecil rasanya langsung tumbuh 2 tanduk di kepala. Atau ketika melihat rumah yang tadinya sudah "lumayan" rapi, jadi seperti kapal pecah lagi dalam hitungan jam, rasanya jadi putus asa. Atau ketika harus argue dengan anakku yang besar yang memang hobi untuk berdebat dengan aku. Duhhhh ... :( ...

Secara finansial, hidup dengan anak-anak adalah tantangan tersendiri. Terbiasa dengan dua beasiswa ketika Goen masih di sini (di Perth), ketika Goen selesai, aku harus bertahan dengan satu beasiswa dan tabungan yang aku punya. Tidak mudah, cukup mendebarkan, apalagi aku tidak bekerja part-time seperti yang dilakukan beberapa teman. Sepanjang aku masih bisa hidup dengan beasiswa, aku berusaha untuk hidup dengan uang yang ada karena secara kasarnya kan aku datang di UWA untuk belajar jadi itu harus jadi prioritas utama. Itu pendapatku.

TAPI ...

Sekalipun aku harus menghadapi semua tantangan di atas, satu hal yang aku tahu: Anak-anakku lah yang membuat aku sampai saat ini tetap "WARAS".... hehehehe...

Betul kata orang-orang: Doing Ph.D is a long and lonely journey. Iya lah, kami bekerja dengan materi yang berbeda satu sama yang lain, dengan tahapan dan proses yang berbeda-beda. Hanya satu yang sama: pressure yang sama untuk bisa menyelesaikan studi kami dengan baik.

Berdasarkan pengamatan (ngawur) terhadap para Ph.D yang satu ruangan denganku,tidak seorang pun yang datang di pagi hari dengan wajah cerah ceria; semua datang dengan muka serius. Percakapan rutin pagi hari adalah, "Hi", "Good morning" atau bahkan tanpa kata hanya mengangguk atau bahkan kadang tanpa sapaan dan anggukan, disusul dengan mengeluarkan laptop, mencolokkan laptop ke switch, memakai headphone ... dan tenggelam ke pekerjaan masing-masing. (begitu kira-kira). Hari akan diakhiri dengan "Good bye" dan "see you" atau tanpa kata.

Kalau pada akhirnya kebutuhan untuk berkomunikasi satu sama lain muncul, ngopi bersama atau makan siang bersama menjadi kegiatan yang dipilih. Ini juga jadi tantangan tersendiri (selain tentu aja menyesuaikan waktu satu-sama lain). Tantangannya adalah 1. ketika ngopi atau makan siang bersama teman yang sama-sama depresi karena lagi "hit the wall" dalam penulisan thesis, aku tidak bisa curhat karena tidak tega membebani orang yang sudah berbeban atau kadang aku jadi tambah depresi juga. 2. ketika ngopi atau makan siang sama teman yang pekerjaan (sedang) lancaaaaarrr, jadi deg2an dan panik karena penulisan masih nggak jelas. either... or ... pilihannya pahit ... ;p

Nahhhh... inilah kenapa anak jadi penting (karena Goen tidak ada). Merekalah yang membuatku merasa bisa "pulang ke rumah" ketika hidupku sudah terbeban dengan thesis. Merekalah yang menyelamatkanku dari hidup yang hanya dipenuhi buku-buku-buku-teks-teks-teks. Mereka yang membuatku bisa menapakkan diri menjadi "manusia yang wajar."

Manusia yang butuh makan ketika mereka bilang, "Mom, I am hungry. What will you cook for dinner?" (aku cenderung tidak doyan makan kalau under pressure).

Manusia yang butuh refreshing ketika mereka bilang, "Can we go to the playground this weekend? The weather is nice."

Manusia yang butuh bersosialisasi ketika mereka bilang, "Can my friend come over to our house?"

Manusia yang tidak sempurna ketika mereka bilang, "Oyyy mom... just sit and do your work. Don't worry about it now. It will be ok." (aku py kecenderungan panik kalau punya masalah).

Manusia yang merasa berguna ketika mereka bilang, "Thank you for doing that for me mom."

Manusia yang merasa dicintai ketika mereka bilang, "I love you mom." atau "Have a lovely day mom."

HAAAHHH!!! I feel I am lucky to have them with me here (at least that's what I think at this moment... hehehehehehe...).

Monday, November 21, 2011

IP (Indeks Prestasi) = 2

‘MATI AKU!!… IP-ku 2 koma,’ teriak kakak kelasku.

Aku yang ada disebelahnya jadi bingung…

‘Kenapa mas? Lumayan to… 2 koma luwih,’ komentarku. (terj. luwih = lebih)

‘Lha iya… biasane aku PERSAKOM (Persatuan satu koma), makane aku ngaku ning bapakku nek IP paling dhuwur ki 2. Saiki IP-ku 2 koma… piye iki???’ jawabnya. (terj. 'Lha iya... biasanya aku PERSAKOM, makanya aku mengaku ke bapakku kalau IP paling tinggi itu 2).

*Kejadian ini mungkin cuma bisa terjadi di waktu aku masih kuliah S1 di akhir tahun 80an dan awal 1990an… waktu pendidikan di Universitas masih menjadi barang yang langka dan orang tua tidak terlalu paham dengan sistem penilaian di Universitas.*

Sunday, November 20, 2011

Link to the news about Bapak Frank Palmos and Battle of Surabaya

Pernah baca tulisanku di blog ini tentang Bapak Frank Palmos?

http://dream-ike.blogspot.com/2011/04/bapak-frank-palmos-dan-indonesia.html

Ini ada artikel tentang beliau di Jakarta Post, 11 November 2011:

http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/10/frank-palmos-from-ragamuffins-revolutionaries.html

Bapak Frank Palmos membuat aku sadar bahwa aku harus lebih menghargai bangsaku sendiri.

Friday, November 18, 2011

Untukmu, Untukku, Untuk kita yang sedang berjuang

Seorang teman mengirimku text,"Am I pushing myself too hard?"
Aku menjawabnya,"U never know the limit if you never try to push it."

Kata "gagal" hampir tidak pernah mampir dalam kamus hidupku. Bukan berarti aku nggak pernah gagal cuma aku berusaha untuk tidak mengartikannya sebagai "the end of the world." Aku sering merasa panik, putus asa, menangis, mengasihani diri sendiri, menuduh diri sendiri "goblok" dan "bego", merasa dunia sudah gelap gulita dan "no way out" terpampang di di depan mataku kalau ada masalah atau kegagalan menimpaku. Aku sering merasa bahwa orang-orang akan menertawakan kegagalanku karena aku merasa tidak semua orang suka kalau aku "sukses". Tapi biasanya setelah aku bisa menenangkan diri sendiri, ketika aku sudah bisa berpikir jernih, yang ada di pikiranku cuma satu, "I have to stand tall and fight back. click ... click ... click ... Escape plan A, escape plan B, escape plan C ... ." Aku harus membuktikan pada diri sendiri, bukan pada orang lain, bahwa aku bisa bangkit dan menjadi lebih baik.

Apakah itu menjadikan aku seorang yang ambisius? Aku pikir tidak. Aku adalah orang yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu pinter, tidak terlalu ambisius, tidak terlalu ngoyo (push my luck too hard). Tapi aku adalah orang yang kalau aku boleh memuji diri sendiri: tidak takut pada tantangan dan orang yang punya "mimpi".

Aku percaya bahwa dalam hidup ini orang harus punya "mimpi", tanpa "mimpi" itu orang tidak akan pernah bisa maju ke depan, tidak pernah akan berkembang. "Mimpi" itu bisa menjadi target hidup. Mimpi yang aku maksud di sini bukan mimpi yang ngawur seperti mimpi dapat lotere bermilyar-milyar atau mimpi jadi dinosaurus ya. Mimpi di sini maksudnya sesuatu yang masuk akal. Ketika aku punya "mimpi", aku akan berusaha untuk meraihnya sampai berdarah-darah sekali pun.

Waktu mencari beasiswa S2 dan S3 dulu, semua jalur aku jalani. Aku cari informasi sebanyak-banyaknya. Dan itu tidak mudah karena ketika aku mencari beasiswa S2 dulu, internet tidak seperti sekarang. Semua masih manual: surat menyurat, kirim mengirim dokumen dan booklet via pos ke luar negeri yang bisa bikin kantong jebol, dan mengasah patience karena nunggu kabarnya lama amiiittt. Dan beberapa kali hanya mendapat balasan selembar kertas dengan inti tulisan "Anda belum beruntung." Begitu juga waktu mencari beasiswa S3. Dari kegagalan-kegagalan itu, aku belajar untuk memperbaiki "track record" (curriculum vitae) yang aku punya. Aku berusaha untuk fokus dan mempunyai "interest" yang aku suka tapi sekaligus berbeda dengan orang lain.

Untuk memperbaiki "track record" ini juga tidak gampang. Dalam pekerjaanku, aku harus banyak melakukan penelitian supaya bisa lebih "memahami" dan "mengakrabi" bidangku. Penelitian membutuhkan biaya. Jadi aku harus mencari dana untuk penelitian. Salah satunya adalah membuat proposal penelitian dan mengirimkannya ke pemberi dana yang menawarkan "grant penelitian". Aku pernah mengirimkan proposal ke salah satu pemberi dana sampai 4 kali (dengan perbaikan-perbaikan terus setiap tahunnya)yang sampai sekarang juga tidak tembus. Tapi ada yang setelah diperbaiki berdasarkan masukan reviewer di tahun sebelumnya, pada akhirnya dapat dana. I will never know how to be better if I never fail.

Jadi teman, berusahalah semaksimal mungkin, jangan takut untuk gagal. Karena kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu sejauh mana kita bisa mengembangkan diri kita. Kalau kita tidak pernah gagal, kita tidak akan bisa menjadi lebih baik.

Friday, November 11, 2011

Bibir bisu

Aku bertemu denganmu malam itu
Dalam suatu pesta yang … entah siapa yang mengundang kita
Aku berdiri di depan meja persegi dengan taplak putih
Di atasnya ada piring-piring perak untuk hidangan
Di salah satu piring itu ada escargot dengan taburan brokoli hijau di atasnya
Kau berdiri dihadapanku
Hanya ada kita berdua di depan meja itu
Pelayan berseragam putih dengan topi koki di kepalanya yang tadinya ada di belakang meja menghilang begitu saja
Kita tak bercakap-cakap
Tangan kita terulur ke piring berisi escargot dan brokoli hijau itu
Kita mengambil escargot yang sama , tak mempedulikan dua yang lain
Aku memegang satu ujung escargot, kau memegang ujung yang lain
Memasukkan ujung yang aku pegang itu ke mulutku, aku melihatmu memasukkan ujung yang lain ke mulutmu
Mata dinginku menangkap ekspressi datar di wajahmu
Kepala kita mendekat dan bibir kita bertemu
Lembut dan hangat … aneh dan lucu rasanya bercampur escargot dan brokoli hijau
Tak ada kata yang terucap dari bibir kita
Bibir yang bertemu dalam mimpi malam itu …

Saturday, November 5, 2011

Sekotak sushi, sekaleng Heineken, seloyang pizza, dan sebuah janji

“Mbak … eh … mbak. Mau ini nggak? Enak lho…. Ayo ambil satu… dua boleh juga … semua juga boleh… buat mbaknya.”

Sekotak sushi disodorkan di depan mukaku. Aku menengok melihat sosok mahluk asing yang memegang kotak sushi itu. Aku mendengar riuh tawa di belakangku. Mahluk asing itu menengok ke arah riuh tawa itu dan mengacungkan jari tengahnya. Tawa itu semakin riuh. What’s wrong with these people? Apa mereka tidak pernah diajari bahwa mereka harus menghormati orang lain? Aku tidak mengganggu mereka, kenapa aku harus mereka libatkan dalam candaan mereka? Why don’t they leave me alone?

“Eh… mbak, ini sushi. Bukan nama saya lho ya mbak. Namanya makanan ini sushi. Dari Jepang. Enak lho mbak… Ditanggung nggak beracun.”

Mahluk asing itu bicara dengan nada dibuat-buat dan merayu paksa. Aku melihat ke sekelilingku. Tak ada batu yang bisa untuk melempar mahluk aneh ini. Yang ada conblock besar-besar seperti yang kududuki saat ini yang mengangkatnya pun mungkin aku tak kuat. Aku diam tak berkata apa-apa dan tak beranjak pergi. Dari pengalaman aku tahu kalau aku beranjak pergi, mahluk seperti ini akan mengejarku dan akan tetap memaksa. Aku tidak mau menjadi aktris tontonan gratis ala sinetron seperti itu. Dari belakangku aku mulai mendengar teriakan-teriakan tidak jelas.

Mahluk aneh itu duduk di sebelahku. Aku menahan diri untuk tidak mendorongnya masuk ke air. Aku menahan diri untuk tidak memukulnya dengan tasku.

“Ya sudah kalau nggak mau. Aku makan sendiri saja sushi-nya. Tapi jangan nyesel lho ya mbak, tadi kan sudah saya tawari.”

Dia mulai makan sushinya. Aku diam saja. Aku tidak bicara dengan orang asing. Aku tidak berurusan dengan orang yang tidak aku kenal. Aku melarikan diri ke dalam pikiranku sendiri. Tawa dan teriakan di belakangku mulai lenyap. Aku sekali lagi menikmati kesunyianku.

“Ini. Coba sushinya. Nggak habis kalau aku sendiri yang makan.”

Mahluk asing itu mengatakan dengan nada yang sungguh-sungguh dan serius. Dia menyodorkan kotak sushi itu sekali lagi ke mukaku.

“Ini.”

Aku melihat ke dalam kotak sushi itu, masih ada lima potong sushi. Bukan sushi yang mahal. Sushi tuna yang potongan mentimunnya lebih besar dari daging tunanya. Gulungannya pun tak terlalu rapi. Aku lihat hanya ada sepasang sumpit yang sudah dia pakai. Aku mengulurkan tanganku mengambil satu sushi dan memakannya.

“Dua lagi untuk kamu, dua untuk aku. Sudah.”

Dalam diam aku dan mahluk asing itu makan bagian kami masing-masing seperti yang sudah dia tentukan.

“Terima kasih.”

Aku menatapnya tak mengerti. Kenapa dia berterima kasih padaku? Karena aku membantunya menghabiskan shushinya? Harusnya aku yang berterima kasih karena aku diberi sushi. Tapi aku sedang tidak ingin bicara.

“Maaf.”

Aku kembali menatapnya. Kenapa juga minta maaf? Mungkin dia merasa tidak enak karena memaksaku? Aku sudah makan sushinya jadi aku sudah tidak merasa terganggu dan tersinggung. Kenapa orang-orang sering mengatakan hal-hal yang tidak jelas? Aku tersenyum tipis dan mengangkat bahuku. Aku mengambil kotak kosong sushi dan sumpit bekas pakai itu dari tangannya. Aku melangkah menuju tempat sampah, membuang kotak sushi dan sumpit itu kedalam tempat sampah, mengangguk ke arah mahluk asing itu dan melangkah pulang.

-----

“Aku tahu kamu pasti di sini.”

Kata-kata itu membuyarkan lamunanku. Uh, mahluk minggu lalu itu datang lagi.

“Aku lagi bosen. Nggak tahu mau main kemana,” ucapnya.

Aku diam saja. Bukan urusanku dia bosan atau tidak. Aku juga bukan information centre yang punya tugas memberitahukan tempat-tempat yang layak dikunjungi. Dan tempat ini tempat umum jadi aku juga tidak bisa melarang dia datang.

Dia duduk di sebelahku.

“Heineken.”

Dia membaca tulisan di kaleng yang aku pegang. Aku meliriknya. Setidaknya dia membuktikan kalau dia tidak buta huruf.

“Bisa minta sedikit?”

Astaga. Mahluk ini sedikit tak tahu diri rupanya. Atau bodoh. Aku tidak membagi apa yang aku minum dengan orang asing. Aku meraih bagpack yang kuletakkan di sampingku, mengambil kaleng lain dan memberikan kaleng itu kepadanya. Dia menerima kaleng itu dengan diam. Aku tidak bertanya apakah menurut agamanya dia boleh minum alcohol tidak. Aku tidak berurusan dengan Tuhan dalam hal ini. Dan kukira Tuhan pun (kalau ada) tidak berurusan dengan alcohol. Aku melihatnya membuka pengunci kaleng dengan hati-hati dan meminum seteguk.

“Kamu aneh,” katanya.

Mahluk yang tak tahu terima kasih. Minta sedikit, diberi sekaleng malah mengatakan aku orang aneh. Ah. Whatever, batinku.

“Kamu tidak tanya kenapa aku pikir kamu aneh?”

Ugh! Aku nyaris tersedak minumanku. Apa lagi ini? Dia yang punya opini, kenapa aku yang harus menjawab. Apa dia pikir aku bisa telepati?

“Cewek …,” katanya perlahan, “minum bir … …”

Dia membiarkan kalimat terakhirnya menggantung. Aku menengok ke arahnya. Kali ini aku benar-benar MEMANDANG-nya. Aku marah. SANGAT MARAH! Satu lagi manusia berpikiran sempit.

CRACK!!!

Aku menghempaskan kaleng yang aku pegang ke conblock yang aku duduki. Aku meraih bagpack-ku dan mengambil kaleng lain. Aku membuka penguncinya dengan kasar dan meneguk habis isi kaleng itu tanpa berhenti. Aku mengambil satu kaleng lagi dari dalam backpack-ku. Kali ini aku sudah tidak semarah tadi. Aku membuka kaleng itu, meminum seteguk dan memegangi kaleng itu. Dia diam saja. He’s got my point. Kami menghabiskan isi kaleng kami masing-masing dalam diam sambil menyaksikan gelap merampas sisa cahaya mentari.

---

“Hai. Aku ingin tahu apa yang kamu lihat dari tempat kamu duduk ini. Mungkin beda dengan apa yang aku lihat dari tempat aku biasa duduk.”

Dia mengucapkan kalimat panjang-panjang itu sambil menengadah ke arahku dan menepuk-nepuk conblock yang berjarak sekitar 40 atau 50 cm dari tempatnya duduk. Dia duduk di tempatku biasa duduk. Aku tersenyum bingung. Aku setengah berharap dia tidak akan ada di tempat ini waktu aku datang. Tapi setengahnya lagi aku berharap dia ada ketika aku datang. Waktu aku lihat dari jauh kalau dia sudah duduk di tempat aku biasa duduk, aku sempat berpikir untuk mencari tempat duduk lain dan membiarkan dia duduk sendiri. Tapi entah kenapa, aku berpikir bahwa dia memang sengaja menungguku di situ. Aku duduk di sebelahnya.

“Maaf. Minggu kemarin.”

Dia melihat ke arahku. Aku mengangkat bahuku. Aku mengangguk. Aku sudah tidak marah lagi. Lagipula aku pikir reaksiku juga sedikit berlebihan minggu lalu. Aku langsung menyimpulkan kata-katanya padahal dia sebetulnya belum mengatakan apa-apa.

“Eh, aku membawa ini.”

Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan kotak pan pizza.

“Uangku cuma cukup buat beli yang kecil.”

Dia membuka kotak itu dan menyodorkannya ke arahku. Aku mengambil satu potong. Aku menggumankan kata “terima kasih.”

“Aku lebih suka pizza daripada sushi.”

Aku mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menanggapinya. Aku sendiri tidak punya preference lebih ke salah satu makanan itu. Pizza, ok. Sushi, fine. Pizza atau Sushi? Whatever. Yang mana saja.

“Kamu tahu topping apa yang paling aku suka?”

Aku menggeleng. Mungkin memang sudah saatnya aku mulai belajar telepati, pikirku.

“Aku suka topping yang banyak kejunya, banyak dagingnya, banyak sosisnya.”

Aku tersenyum. Orang juga tahu kalau pizza dengan banyak keju, banyak daging dan banyak sosis pasti enak. Aku tak tahu dia naif atau berusaha melucu. Aku menatap wajahnya. Ekspressi wajahnya datar saja, tanpa bermaksud melucu. Atau pura-pura? Aku tak tahu. Aku menerima kata-katanya tadi sebagai caranya mengajakku berteman.

“Kamu sering ke sini?”
“Lumayan sering,”
“Pemandangannya nggak bagus-bagus amat.”
“Ya.”

Aku tidak merasa perlu bercerita panjang lebar bahwa setiap tahun aku datang ke sini untuk meletakkan kuntum-kuntum mawar di air. Kado ulang tahun untuk seseorang yang kehilangannya kusesali tapi tak boleh aku tangisi. Seseorang yang kepergiannya membuatku mencintai kesendirian. Seseorang yang sekarang tinggal di tempat yang kata orang jauh di langit. Seseorang yang membuatku mencintai laut. Di laut, langit menyatu dengan bumi, tak terpisahkan.

“Minggu besok kamu kesini?”

Aku memandangnya. Aku melihat gagap dimatanya. Aku merasa tidak nyaman. Aku membersihkan tenggorokanku. Aku melihatnya membuang pandang ke depan.

“Eh… ada burung camar.”

Dia menunjuk ke laut di depannya.

“Tidak,” kataku, “Minggu depan aku tidak akan ke sini.”

Dia diam. Aku pun diam. Aku berharap aku bisa bicara lebih banyak. Tapi aku harus bicara apa? Aku tidak kenal dia. Namanya pun aku tak tahu. Kami baru bertemu tiga kali ini. Kebanyakan dia yang bicara.

“Kapan ke sini lagi?”
“Belum tahu.”
“Mau pergi?”
“Pindah.”
“Luar kota?”
“Mmmm…”
“Kemana?”
“Uppsala.”
“Dimana???”
“Swedia.”
“Sekolah?”
“Kuliah. Beasiswa.”
“Ambil apa?”
“Fisika.”
“Berapa lama?”
“3 tahun.”
“Kalau liburan pulang?”
“Belum tahu. Mahal.”
“Kapan berangkat?”
“Dua hari lagi.”

Dia diam. Aku tak tahu harus bicara apa.

“Kamu punya hp?”
“Ada.”
“Pinjam.”

Aku mengambil hp dari kantong jeansku dan kuberikan ke dia. Kalau pun ternyata dia tukang copet hp dan lari setelah mendapat hp-ku, aku tidak terlalu menyesalinya. Hp-ku model lama. Aku hanya butuh hp untuk berkomunikasi. Tepatnya supaya orang bisa menghubungi aku. Sebentar lagi aku pindah negara. Aku tidak membutuhkan nomor lamaku. Nothing to lose. Dia mengetik sesuatu di hp-ku dan menunjukkan apa yang dia ketik kepadaku.

“Ini namaku. Ini nomorku. Kalau suatu saat kamu pulang, kamu bisa hubungi aku. Kita ketemu lagi di sini.”

Aku tiba-tiba merasa sedih dan aku ingin pulang.

“Sudah, tidak usah sedih. Sebentar lagi kamu jalan-jalan ke luar negeri. Sana pulang dulu. Kamu harus packing, jangan sampai ada yang ketinggalan. Istirahat juga yang banyak. Jangan banyak keluyuran malam. Nanti sakit. Kalau sakit nanti nggak jadi pergi.”

Aku meringis. Mungkin dia belajar telepati. Mahluk aneh. Tak bisa kutebak.

“Dan jangan lupa membawa diri baik-baik di negeri orang. Jangan sampai mencemarkan nama bangsa dan negara.”

Dia lalu tertawa. Aku ikut tertawa. Aku berdiri dan mulai melangkah pergi. Aku berhenti ketika dia berteriak:

“Dan jangan lupa menelponku kalau kamu pulang!”

Aku mengangguk, tersenyum dan mengacungkan jempolku. Dia tersenyum.

---

Aku baru saja meletakkan kuntum-kuntum mawar di air. Aku melihat ke laut di depanku, laut Baltic. Laut yang membeku di musim dingin namun biru indah di musim panas. Laut tak lagi hanya membuatku merasa dekat dengan dia yang tinggal jauh di langit sana… Laut juga membuatku ingat pada sebuah janji.

Ini musim panas ketigaku di negara yang jauh dari rumah ini. Dan aku belum sekali pun pulang. Tahun ini pun aku tak akan pulang. Tapi aku masih ingat janji itu, janji yang tak pernah kuucapkan tapi kuingat. Dia mungkin sudah lupa kalau dia pernah membuatku punya janji seperti itu. Dia mungkin bahkan sudah tak ingat lagi bahwa aku ada. Aku tak peduli. Yang aku tahu, aku punya janji untuk seorang yang kutemui tiga kali: janji untuk seorang yang menawariku sekotak sushi, janji untuk seorang yang kuberi sekaleng Heineken, dan janji untuk seorang yang membelikanku seloyang pizza …

Tack för att du är min vän – Thank you for being my friend



*Ditemani “Sekali Lagi”-nya Ipang dan “Maaf Kuharus Pergi”-nya Nine Ball.

#judul cerita ini berdasarkan obrolan ike dan danty di Twitter ... dan cerita ini dibuat atas usulan Marcelly ...

Note: Pemakaian kata ‘Heineken’ bukan untuk maksud promosi. Kata itu dipakai krn memberikan efek yang berbeda dengan pemakaian kata sekaleng bir yang terkesan seperti sekaleng minyak tanah atau sekaleng minyak goreng.

Wednesday, November 2, 2011

Ike- Danty - Tweets HORROR kami hari ini

Habis mengalami kejadian yang mbuat aku jadi takut sendiri ...

Percayakah kamu pada 'coincidence'?

Percayakah kamu bahwa jiwa dan pikiran manusia dihubungkan oleh benang-benang halus yang tak kelihatan satu sama lain?

Aku selalu tidak percaya hal-hal seperti itu.

Tapi hari ini punya cerita lain.

Aku membuka twitter-ku sore ini ...

Tiba-tiba saja... entah kenapa ... out of the blue ... aku merasa ada dorongan kuat untuk mengirim tweet ke @dantedanty ... hanya untuk sekedar menyapa ...

aku ketik

Bun... #cumapenginmanggilaja @dantedanty

Aku tweet-kan ke danty

Waktu aku melihat tweet-ku muncul di Timeline, mataku tertumbuk pada tweet yang muncul hampir bersamaan. Tiba-tiba aku merasa HORROR sendiri ...

Tweet itu bertuliskan

@48ikecool: bunny

Tweet dari Danty