Sunday, December 2, 2012

3 Batang Cerutu, 3 Buah Cerita



Aku menyeka telapak tanganku dengan sebuah tissue wangi warna putih sebelum aku memegang cerutu single itu. Cerutu impor. Nicaragua, bukan cerutu Kuba seperti yang sering dihisap si icon cerutu, Fidel Castro. Aku menimang cerutu ini hati-hati sambil mengamati segel bergambar daun tembakau ditata seperti bentuk bunga, berwarna hijau dan emas. Aku tersenyum dalam hati, senyum yang menular ke bibirku. Aku tak pernah tahu cara menikmati cerutu dengan benar. Kata temanku, seperti juga minum teh tradisional Jepang, untuk menikmati cerutu orang juga harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Tapi hari ini aku sendiri. Aku tak bisa bertanya ke temanku tentang langkah-langkah menikmati cerutu. Aku hanya merasa percaya diri saja. Sama seperti ketika aku secara alami mampu menikmati rokok pertamaku aku yakin aku akan mampu menikmati cerutu ini. Lagipula cerutu ini bukan cerutu pertamaku. 

Cerutu pertamaku adalah cerutu setengah habis yang kamu berikan padaku di suatu siang di tempat kerjaku. Cerutu yang tak aku tahu bermerek apa dan dari mana. Yang aku tahu aku sangat antusias ketika itu karena aku akhirnya akan bisa menikmati cerutu. Sesuatu yang tidak akan kubeli sendiri karena aku yakin aku tidak akan bisa menghabiskan sekotak cerutu dan tak mungkin menyembunyikan sisanya di rumahku yang ‘smoke free zone’. Aku begitu semangat untuk mulai merasakan cerutu itu sehingga aku duduk begitu saja di depanmu dan mulai mematik ‘lighter’ untuk menyalakan cerutu itu. Aku lupa kalau aku ada di selasar depan pintu masuk tempat kerjaku yang memasang tanda ‘No Smoking Area’. Tempat yang sibuk dengan orang lalu lalang. Aku ingat kau tiba-tiba berseru tertahan,‘Jangan disini! Di sana aja!’ Dengan cerutu masih dimulutku dan gelas plastic bekas air mineral untuk asbak ditangan kananku, aku mengikutimu pindah ke pojok gedung yang lebih sepi dan mulai menyalakan cerutu. Tapi seruanmu tadi terlanjur membuatku berpikir dan merasa bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak untuk dilakukan di depan orang banyak. Karena itu setelah dua atau tiga hisapan, aku mengembalikan cerutu itu padamu. Aku tidak bisa menikmati cerutu hari itu. My mood was spoiled. 

Cerutu keduaku adalah cerutu yang kubeli di sebuah supermarket yang menjadi langganan orang-orang ekspatriat. Ketika itu kamu bersamaku. Kita melihat cerutu di ‘check out counter’. Aku bilang ‘kita’ karena tampaknya waktu kita menunggu orang didepan kita membayar, mata kita sama-sama memperhatikan cerutu-cerutu itu. Kita sepakat untuk membeli cerutu. Sepakat dengan alasan masing-masing. Kamu sepakat karena kamu akan bisa menikmati cerutu dengan gratis karena aku yang membayar, aku sepakat karena aku pikir kalau aku tidak suka atau tidak bisa menghabiskan cerutu itu aku akan selalu bisa memaksamu untuk menghabiskan cerutu-cerutu itu. Sebungkus cerutu lokal, bukan cerutu single seperti cerutuku hari ini tapi cerutu berbungkus kertas berwarna oranye bergambar macan hitam. Kamu dan aku masing-masing mengambil sebatang cerutu dan mulai menyalakannya. Lebih berat dari menghisap rokok kretek berbungkus warna kuning dengan tiga angka sebagai mereknya , jauh lebih berat dari rokok putih berharga 3000 favoritmu ketika itu. Puff. Puff. Aku lalu menatapmu yang sedang mengisap cerutu dan berkomentar, ‘Rasane kaya uwuh.’ Rasa yang membuatku berhenti menghisap cerutu itu sebelum habis. Kamu membawa pulang cerutu yang tersisa dan menghabiskannya sebelum aku bisa mengembalikan ‘mood’-ku untuk mencoba cerutu lagi. 

Cerutu kali ini adalah cerutu ketigaku. Tanpa ada kamu yang berseru untuk mengingatkanku bahwa aku ‘tidak pantas’ menghisap cerutu di tempat ini, tanpa ada kamu yang akan membawa pulang dan menghabiskan cerutu-cerutu yang tersisa. Aku meletakkan cerutu di mulutku, menyalakan ‘lighter’, membakar ujung cerutu. Aku menghisap dalam-dalam cerutu ini dengan perlahan. Sangat perlahan. Aku merasakan dinding-dinding dalam mulutku mulai terasa panas. Aku tidak memasukkan asap cerutu ini ke paru-paruku. Aku ingat kata temanku  yang lain bahwa cerutu itu seperti anggur. Harus dinikmati di ‘palate’ bukan di paru-paru. Aku mengambil cerutu dari mulutku. Memberi kesempatan pada mulutku untuk menghembuskan asap yang ada disana. Aku memandangi asap yang keluar dari mulutku, sangat sedikit, jauh lebih sedikit dibandingkan asap yang tercipta kalau aku menghisap rokok. Aku melihat asap tipis itu memudar. Sama seperti pudarnya ingatanku tentangmu. Aku pernah menulis padamu bahwa kadang ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan dan tidak bisa dituliskan. Saat ini aku merasakan hal itu. Aku berusaha menikmati cerutu ini untuk mengembalikan ingatanku. Ingatan tentangmu. Ingatan yang semakin lama semakin tipis dan memudar… dan terasa menyakitkan ketika aku tak mampu lagi mengingatmu seperti dulu… Aku menghisap cerutu ini demi kamu, demi kenanganku tentangmu…

HRotD 

No comments: