Kadang-kadang aku memang ‘careless’, aku sering tidak mengecek indicator bensin motorku sebelum berangkat kerja, padahal tempat kerjaku jauh dari pompa bensin dan bensin eceran sempat hilang dari pasaran gara-gara issue harga bensin akan naik. Pada saat itulah suatu hari aku yang mendapati indicator bensinku mentok dibawah garis merah minta tolong pada Igor untuk mengikutiku dari belakang sampai ke pom bensin terdekat (di Sampangan) yang nggak bisa dibilang dekat juga. Paling enggak kalau aku kehabisan bensin dan harus mendorong motorku sampai ke pom bensin, aku punya teman.
Setelah sepakat dengan Igor, aku langsung men-start motorku dan langsung keluar Unika ke arah pom bensin. Melewati Untag, aku merasa mesin motorku sudah mulai tersendat-sendat. Kalau sampai mesinnya mati, bisa dipastikan motorku sudah tidak bisa lagi di start dan aku harus mendorongnya. Karena itu aku memutuskan untuk memacu motorku secepat-cepatnya di gigi tinggi dengan pikiran kalau pun aku harus mendorong motorku ke pompa bensin setidaknya tidak terlalu jauh.
Tapi aku lupa beberapa hal. Aku lupa kalau Igor tidak pernah memacu motornya lebih dari 40 km/jam. Dengan konsentrasi ke tujuan memperpendek jarak ke pom bensin, aku juga lupa bahwa aku sempat minta tolong Igor untuk mengikutiku dari belakang.
Maka ketika akhirnya aku sampai ke pom bensin tanpa harus mendorong motorku (dan pas banget karena begitu sampai pom bensin, mesin motorku langsung mati waktu aku kecilkan gasnya), aku langsung mengisi bensin motorku.
Waktu aku keluar dari pom bensin, aku melihat ada motor pelan-pelan berhenti. Motor Igor. Dan aku tiba-tiba ingat bahwa aku minta dia mengikutiku dari belakang. Aku berhenti didekatnya untuk berterima kasih. Tapi belum sempat aku membuka mulutku, Igor bicara dengan nada sedikit marah, ‘Madam gimana sih? Katanya aku disuruh ngikutin. Malah ditinggal!!!’
T.T… wah aku dimarahin anak kecil…
Friday, January 20, 2012
Monday, January 9, 2012
Perempuan itu ...
Pagi itu aku memasuki coffeeshop langgananku dan disambut semerbak bau kopi diseduh. Sudah lama aku tidak mampir ke coffeeshop ini sejak aku harus bekerja di kota lain. Sapaan hangat gadis penjaganya kujawab dengan senyum lebar. Aku benar-benar rindu tempat ini.
Dengan secangkir kopi ditanganku, aku melangkah menuju tempat duduk favoritku, tempat duduk di sudut dekat jendela. Namun kulihat seorang perempuan sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, sepotong donat dan sebuah laptop di depannya. Aku memutuskan untuk duduk di meja dekatnya dan mulai membaca ‘Divakaruni’s The Palace of Illussions’, kisah menarik tentang perempuan-perempuan di Mahabharata.
Aku mengangkat kepalaku dari buku yang kubaca ketika aku mendengar teriakan tertahan, ‘Haiii…’ dari perempuan di meja sebelahku. Kulihat dia melambaikan tangannya ke dua orang, laki-laki dan perempuan, yang tampaknya mencari-cari dirinya. Lalu aku menyaksikan adegan yang selalu aku suka; pertemuan kembali antar teman (?), sahabat (?)… selalu menggembirakan. Perempuan itu bangkit dari duduknya, memeluk dan mencium pipi perempuan yang baru datang; dan berjabat tangan dengan yang laki-laki. Mereka lalu bercakap-cakap dan tertawa dengan gembira.
Ahhhh … mereka membuatku ingat pada sahabat-sahabatku yang sudah lama tidak aku temui. Aku mengambil mobile phone dari dalam tas-ku dan mulai mengirim pesan pendek ke sahabat-sahabatku untuk mengatakan bahwa meski aku lama tak bertemu mereka, aku tetap menyayangi mereka. Ditengah keasyikanku mengirim dan menjawab pesan pendek sahabat-sahabatku, aku melihat kedua teman perempuan itu berpamitan dan kudengar perempuan itu berkata, ‘Aku masih ingin tinggal di sini dulu, lain kali aku akan pergi bersama kalian. Aku janji.’
Aku menghentikan keasyikanku dengan pesan-pesan pendek dan meminum kopiku yang sudah mulai dingin ketika tanpa sengaja mataku menangkap mata perempuan di depanku nanar menatap layar laptop. Mata itu berkaca-kaca. Dan kulihat bulir airmata mengalir di pipinya. Dia pasti merasakan pandanganku karena dia tiba-tiba melihat kearahku dan tersenyum pucat. Aku membalas senyumnya dengan sedikit perasaan bersalah karena ketahuan memperhatikannya.
Dia lalu membereskan laptopnya dan berdiri. Aku menundukkan kepala ke bukuku dan berusaha untuk mulai membaca lagi ketika aku mendengar langkah kaki mendekati tempatku duduk dan suara perempuan berkata, ‘Boleh aku duduk di sini? Aku butuh teman…’ Aku mengangguk.
Perempuan itu duduk membisu di depanku dan aku juga tak tahu harus bicara apa padanya. Dia memejamkan matanya, menarik nafas, dan kulihat dia menangis tanpa suara. Aku menyodorkan tissue makanku padanya karena nampaknya hanya itu yang bisa aku lakukan. Dia mengambil tissue itu, meremasnya dengan kedua tangan dan dengan lirih berkata, ‘Aku merelakannya mencintai … dan dicintai perempuan lain…’ Dia berhenti, menghela nafas, dan melanjutkan dengan nada tercekat, ‘karena … a ku … tak mungkin… mencintainya…’ Mataku mengikuti pandangannya yang mengarah ke tangan kanannya. Kulihat di jari manisnya melingkar sebuah cincin emas polos. Dan airmata mulai turun lagi di kedua pipinya.
Aku terdiam. Aku memahami kepedihan yang dia rasakan. Aku memahami kesedihannya. Aku menekuri kopi dingin di depanku tanpa kata.
Kudengar perempuan itu menarik nafas panjang, dan dia tiba-tiba menegakkan badannya, memakai tissue makanku untuk menyusut airmata dari pipi dan berkata dengan tegar, ‘I must get going… terima kasih sudah mendengarkanku …’
“Anytime …,” jawabku spontan.
Perempuan itu berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah pergi dengan langkah-langkah yang lebar dan tegap… meninggalkanku termangu sendiri dengan secangkir kopi dingin dan buku terbuka.
Dengan secangkir kopi ditanganku, aku melangkah menuju tempat duduk favoritku, tempat duduk di sudut dekat jendela. Namun kulihat seorang perempuan sudah duduk di sana dengan secangkir kopi, sepotong donat dan sebuah laptop di depannya. Aku memutuskan untuk duduk di meja dekatnya dan mulai membaca ‘Divakaruni’s The Palace of Illussions’, kisah menarik tentang perempuan-perempuan di Mahabharata.
Aku mengangkat kepalaku dari buku yang kubaca ketika aku mendengar teriakan tertahan, ‘Haiii…’ dari perempuan di meja sebelahku. Kulihat dia melambaikan tangannya ke dua orang, laki-laki dan perempuan, yang tampaknya mencari-cari dirinya. Lalu aku menyaksikan adegan yang selalu aku suka; pertemuan kembali antar teman (?), sahabat (?)… selalu menggembirakan. Perempuan itu bangkit dari duduknya, memeluk dan mencium pipi perempuan yang baru datang; dan berjabat tangan dengan yang laki-laki. Mereka lalu bercakap-cakap dan tertawa dengan gembira.
Ahhhh … mereka membuatku ingat pada sahabat-sahabatku yang sudah lama tidak aku temui. Aku mengambil mobile phone dari dalam tas-ku dan mulai mengirim pesan pendek ke sahabat-sahabatku untuk mengatakan bahwa meski aku lama tak bertemu mereka, aku tetap menyayangi mereka. Ditengah keasyikanku mengirim dan menjawab pesan pendek sahabat-sahabatku, aku melihat kedua teman perempuan itu berpamitan dan kudengar perempuan itu berkata, ‘Aku masih ingin tinggal di sini dulu, lain kali aku akan pergi bersama kalian. Aku janji.’
Aku menghentikan keasyikanku dengan pesan-pesan pendek dan meminum kopiku yang sudah mulai dingin ketika tanpa sengaja mataku menangkap mata perempuan di depanku nanar menatap layar laptop. Mata itu berkaca-kaca. Dan kulihat bulir airmata mengalir di pipinya. Dia pasti merasakan pandanganku karena dia tiba-tiba melihat kearahku dan tersenyum pucat. Aku membalas senyumnya dengan sedikit perasaan bersalah karena ketahuan memperhatikannya.
Dia lalu membereskan laptopnya dan berdiri. Aku menundukkan kepala ke bukuku dan berusaha untuk mulai membaca lagi ketika aku mendengar langkah kaki mendekati tempatku duduk dan suara perempuan berkata, ‘Boleh aku duduk di sini? Aku butuh teman…’ Aku mengangguk.
Perempuan itu duduk membisu di depanku dan aku juga tak tahu harus bicara apa padanya. Dia memejamkan matanya, menarik nafas, dan kulihat dia menangis tanpa suara. Aku menyodorkan tissue makanku padanya karena nampaknya hanya itu yang bisa aku lakukan. Dia mengambil tissue itu, meremasnya dengan kedua tangan dan dengan lirih berkata, ‘Aku merelakannya mencintai … dan dicintai perempuan lain…’ Dia berhenti, menghela nafas, dan melanjutkan dengan nada tercekat, ‘karena … a ku … tak mungkin… mencintainya…’ Mataku mengikuti pandangannya yang mengarah ke tangan kanannya. Kulihat di jari manisnya melingkar sebuah cincin emas polos. Dan airmata mulai turun lagi di kedua pipinya.
Aku terdiam. Aku memahami kepedihan yang dia rasakan. Aku memahami kesedihannya. Aku menekuri kopi dingin di depanku tanpa kata.
Kudengar perempuan itu menarik nafas panjang, dan dia tiba-tiba menegakkan badannya, memakai tissue makanku untuk menyusut airmata dari pipi dan berkata dengan tegar, ‘I must get going… terima kasih sudah mendengarkanku …’
“Anytime …,” jawabku spontan.
Perempuan itu berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah pergi dengan langkah-langkah yang lebar dan tegap… meninggalkanku termangu sendiri dengan secangkir kopi dingin dan buku terbuka.
Subscribe to:
Posts (Atom)