“Mbak … eh … mbak. Mau ini nggak? Enak lho…. Ayo ambil satu… dua boleh juga … semua juga boleh… buat mbaknya.”
Sekotak sushi disodorkan di depan mukaku. Aku menengok melihat sosok mahluk asing yang memegang kotak sushi itu. Aku mendengar riuh tawa di belakangku. Mahluk asing itu menengok ke arah riuh tawa itu dan mengacungkan jari tengahnya. Tawa itu semakin riuh. What’s wrong with these people? Apa mereka tidak pernah diajari bahwa mereka harus menghormati orang lain? Aku tidak mengganggu mereka, kenapa aku harus mereka libatkan dalam candaan mereka? Why don’t they leave me alone?
“Eh… mbak, ini sushi. Bukan nama saya lho ya mbak. Namanya makanan ini sushi. Dari Jepang. Enak lho mbak… Ditanggung nggak beracun.”
Mahluk asing itu bicara dengan nada dibuat-buat dan merayu paksa. Aku melihat ke sekelilingku. Tak ada batu yang bisa untuk melempar mahluk aneh ini. Yang ada conblock besar-besar seperti yang kududuki saat ini yang mengangkatnya pun mungkin aku tak kuat. Aku diam tak berkata apa-apa dan tak beranjak pergi. Dari pengalaman aku tahu kalau aku beranjak pergi, mahluk seperti ini akan mengejarku dan akan tetap memaksa. Aku tidak mau menjadi aktris tontonan gratis ala sinetron seperti itu. Dari belakangku aku mulai mendengar teriakan-teriakan tidak jelas.
Mahluk aneh itu duduk di sebelahku. Aku menahan diri untuk tidak mendorongnya masuk ke air. Aku menahan diri untuk tidak memukulnya dengan tasku.
“Ya sudah kalau nggak mau. Aku makan sendiri saja sushi-nya. Tapi jangan nyesel lho ya mbak, tadi kan sudah saya tawari.”
Dia mulai makan sushinya. Aku diam saja. Aku tidak bicara dengan orang asing. Aku tidak berurusan dengan orang yang tidak aku kenal. Aku melarikan diri ke dalam pikiranku sendiri. Tawa dan teriakan di belakangku mulai lenyap. Aku sekali lagi menikmati kesunyianku.
“Ini. Coba sushinya. Nggak habis kalau aku sendiri yang makan.”
Mahluk asing itu mengatakan dengan nada yang sungguh-sungguh dan serius. Dia menyodorkan kotak sushi itu sekali lagi ke mukaku.
“Ini.”
Aku melihat ke dalam kotak sushi itu, masih ada lima potong sushi. Bukan sushi yang mahal. Sushi tuna yang potongan mentimunnya lebih besar dari daging tunanya. Gulungannya pun tak terlalu rapi. Aku lihat hanya ada sepasang sumpit yang sudah dia pakai. Aku mengulurkan tanganku mengambil satu sushi dan memakannya.
“Dua lagi untuk kamu, dua untuk aku. Sudah.”
Dalam diam aku dan mahluk asing itu makan bagian kami masing-masing seperti yang sudah dia tentukan.
“Terima kasih.”
Aku menatapnya tak mengerti. Kenapa dia berterima kasih padaku? Karena aku membantunya menghabiskan shushinya? Harusnya aku yang berterima kasih karena aku diberi sushi. Tapi aku sedang tidak ingin bicara.
“Maaf.”
Aku kembali menatapnya. Kenapa juga minta maaf? Mungkin dia merasa tidak enak karena memaksaku? Aku sudah makan sushinya jadi aku sudah tidak merasa terganggu dan tersinggung. Kenapa orang-orang sering mengatakan hal-hal yang tidak jelas? Aku tersenyum tipis dan mengangkat bahuku. Aku mengambil kotak kosong sushi dan sumpit bekas pakai itu dari tangannya. Aku melangkah menuju tempat sampah, membuang kotak sushi dan sumpit itu kedalam tempat sampah, mengangguk ke arah mahluk asing itu dan melangkah pulang.
-----
“Aku tahu kamu pasti di sini.”
Kata-kata itu membuyarkan lamunanku. Uh, mahluk minggu lalu itu datang lagi.
“Aku lagi bosen. Nggak tahu mau main kemana,” ucapnya.
Aku diam saja. Bukan urusanku dia bosan atau tidak. Aku juga bukan information centre yang punya tugas memberitahukan tempat-tempat yang layak dikunjungi. Dan tempat ini tempat umum jadi aku juga tidak bisa melarang dia datang.
Dia duduk di sebelahku.
“Heineken.”
Dia membaca tulisan di kaleng yang aku pegang. Aku meliriknya. Setidaknya dia membuktikan kalau dia tidak buta huruf.
“Bisa minta sedikit?”
Astaga. Mahluk ini sedikit tak tahu diri rupanya. Atau bodoh. Aku tidak membagi apa yang aku minum dengan orang asing. Aku meraih bagpack yang kuletakkan di sampingku, mengambil kaleng lain dan memberikan kaleng itu kepadanya. Dia menerima kaleng itu dengan diam. Aku tidak bertanya apakah menurut agamanya dia boleh minum alcohol tidak. Aku tidak berurusan dengan Tuhan dalam hal ini. Dan kukira Tuhan pun (kalau ada) tidak berurusan dengan alcohol. Aku melihatnya membuka pengunci kaleng dengan hati-hati dan meminum seteguk.
“Kamu aneh,” katanya.
Mahluk yang tak tahu terima kasih. Minta sedikit, diberi sekaleng malah mengatakan aku orang aneh. Ah. Whatever, batinku.
“Kamu tidak tanya kenapa aku pikir kamu aneh?”
Ugh! Aku nyaris tersedak minumanku. Apa lagi ini? Dia yang punya opini, kenapa aku yang harus menjawab. Apa dia pikir aku bisa telepati?
“Cewek …,” katanya perlahan, “minum bir … …”
Dia membiarkan kalimat terakhirnya menggantung. Aku menengok ke arahnya. Kali ini aku benar-benar MEMANDANG-nya. Aku marah. SANGAT MARAH! Satu lagi manusia berpikiran sempit.
CRACK!!!
Aku menghempaskan kaleng yang aku pegang ke conblock yang aku duduki. Aku meraih bagpack-ku dan mengambil kaleng lain. Aku membuka penguncinya dengan kasar dan meneguk habis isi kaleng itu tanpa berhenti. Aku mengambil satu kaleng lagi dari dalam backpack-ku. Kali ini aku sudah tidak semarah tadi. Aku membuka kaleng itu, meminum seteguk dan memegangi kaleng itu. Dia diam saja. He’s got my point. Kami menghabiskan isi kaleng kami masing-masing dalam diam sambil menyaksikan gelap merampas sisa cahaya mentari.
---
“Hai. Aku ingin tahu apa yang kamu lihat dari tempat kamu duduk ini. Mungkin beda dengan apa yang aku lihat dari tempat aku biasa duduk.”
Dia mengucapkan kalimat panjang-panjang itu sambil menengadah ke arahku dan menepuk-nepuk conblock yang berjarak sekitar 40 atau 50 cm dari tempatnya duduk. Dia duduk di tempatku biasa duduk. Aku tersenyum bingung. Aku setengah berharap dia tidak akan ada di tempat ini waktu aku datang. Tapi setengahnya lagi aku berharap dia ada ketika aku datang. Waktu aku lihat dari jauh kalau dia sudah duduk di tempat aku biasa duduk, aku sempat berpikir untuk mencari tempat duduk lain dan membiarkan dia duduk sendiri. Tapi entah kenapa, aku berpikir bahwa dia memang sengaja menungguku di situ. Aku duduk di sebelahnya.
“Maaf. Minggu kemarin.”
Dia melihat ke arahku. Aku mengangkat bahuku. Aku mengangguk. Aku sudah tidak marah lagi. Lagipula aku pikir reaksiku juga sedikit berlebihan minggu lalu. Aku langsung menyimpulkan kata-katanya padahal dia sebetulnya belum mengatakan apa-apa.
“Eh, aku membawa ini.”
Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan kotak pan pizza.
“Uangku cuma cukup buat beli yang kecil.”
Dia membuka kotak itu dan menyodorkannya ke arahku. Aku mengambil satu potong. Aku menggumankan kata “terima kasih.”
“Aku lebih suka pizza daripada sushi.”
Aku mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menanggapinya. Aku sendiri tidak punya preference lebih ke salah satu makanan itu. Pizza, ok. Sushi, fine. Pizza atau Sushi? Whatever. Yang mana saja.
“Kamu tahu topping apa yang paling aku suka?”
Aku menggeleng. Mungkin memang sudah saatnya aku mulai belajar telepati, pikirku.
“Aku suka topping yang banyak kejunya, banyak dagingnya, banyak sosisnya.”
Aku tersenyum. Orang juga tahu kalau pizza dengan banyak keju, banyak daging dan banyak sosis pasti enak. Aku tak tahu dia naif atau berusaha melucu. Aku menatap wajahnya. Ekspressi wajahnya datar saja, tanpa bermaksud melucu. Atau pura-pura? Aku tak tahu. Aku menerima kata-katanya tadi sebagai caranya mengajakku berteman.
“Kamu sering ke sini?”
“Lumayan sering,”
“Pemandangannya nggak bagus-bagus amat.”
“Ya.”
Aku tidak merasa perlu bercerita panjang lebar bahwa setiap tahun aku datang ke sini untuk meletakkan kuntum-kuntum mawar di air. Kado ulang tahun untuk seseorang yang kehilangannya kusesali tapi tak boleh aku tangisi. Seseorang yang kepergiannya membuatku mencintai kesendirian. Seseorang yang sekarang tinggal di tempat yang kata orang jauh di langit. Seseorang yang membuatku mencintai laut. Di laut, langit menyatu dengan bumi, tak terpisahkan.
“Minggu besok kamu kesini?”
Aku memandangnya. Aku melihat gagap dimatanya. Aku merasa tidak nyaman. Aku membersihkan tenggorokanku. Aku melihatnya membuang pandang ke depan.
“Eh… ada burung camar.”
Dia menunjuk ke laut di depannya.
“Tidak,” kataku, “Minggu depan aku tidak akan ke sini.”
Dia diam. Aku pun diam. Aku berharap aku bisa bicara lebih banyak. Tapi aku harus bicara apa? Aku tidak kenal dia. Namanya pun aku tak tahu. Kami baru bertemu tiga kali ini. Kebanyakan dia yang bicara.
“Kapan ke sini lagi?”
“Belum tahu.”
“Mau pergi?”
“Pindah.”
“Luar kota?”
“Mmmm…”
“Kemana?”
“Uppsala.”
“Dimana???”
“Swedia.”
“Sekolah?”
“Kuliah. Beasiswa.”
“Ambil apa?”
“Fisika.”
“Berapa lama?”
“3 tahun.”
“Kalau liburan pulang?”
“Belum tahu. Mahal.”
“Kapan berangkat?”
“Dua hari lagi.”
Dia diam. Aku tak tahu harus bicara apa.
“Kamu punya hp?”
“Ada.”
“Pinjam.”
Aku mengambil hp dari kantong jeansku dan kuberikan ke dia. Kalau pun ternyata dia tukang copet hp dan lari setelah mendapat hp-ku, aku tidak terlalu menyesalinya. Hp-ku model lama. Aku hanya butuh hp untuk berkomunikasi. Tepatnya supaya orang bisa menghubungi aku. Sebentar lagi aku pindah negara. Aku tidak membutuhkan nomor lamaku. Nothing to lose. Dia mengetik sesuatu di hp-ku dan menunjukkan apa yang dia ketik kepadaku.
“Ini namaku. Ini nomorku. Kalau suatu saat kamu pulang, kamu bisa hubungi aku. Kita ketemu lagi di sini.”
Aku tiba-tiba merasa sedih dan aku ingin pulang.
“Sudah, tidak usah sedih. Sebentar lagi kamu jalan-jalan ke luar negeri. Sana pulang dulu. Kamu harus packing, jangan sampai ada yang ketinggalan. Istirahat juga yang banyak. Jangan banyak keluyuran malam. Nanti sakit. Kalau sakit nanti nggak jadi pergi.”
Aku meringis. Mungkin dia belajar telepati. Mahluk aneh. Tak bisa kutebak.
“Dan jangan lupa membawa diri baik-baik di negeri orang. Jangan sampai mencemarkan nama bangsa dan negara.”
Dia lalu tertawa. Aku ikut tertawa. Aku berdiri dan mulai melangkah pergi. Aku berhenti ketika dia berteriak:
“Dan jangan lupa menelponku kalau kamu pulang!”
Aku mengangguk, tersenyum dan mengacungkan jempolku. Dia tersenyum.
---
Aku baru saja meletakkan kuntum-kuntum mawar di air. Aku melihat ke laut di depanku, laut Baltic. Laut yang membeku di musim dingin namun biru indah di musim panas. Laut tak lagi hanya membuatku merasa dekat dengan dia yang tinggal jauh di langit sana… Laut juga membuatku ingat pada sebuah janji.
Ini musim panas ketigaku di negara yang jauh dari rumah ini. Dan aku belum sekali pun pulang. Tahun ini pun aku tak akan pulang. Tapi aku masih ingat janji itu, janji yang tak pernah kuucapkan tapi kuingat. Dia mungkin sudah lupa kalau dia pernah membuatku punya janji seperti itu. Dia mungkin bahkan sudah tak ingat lagi bahwa aku ada. Aku tak peduli. Yang aku tahu, aku punya janji untuk seorang yang kutemui tiga kali: janji untuk seorang yang menawariku sekotak sushi, janji untuk seorang yang kuberi sekaleng Heineken, dan janji untuk seorang yang membelikanku seloyang pizza …
Tack för att du är min vän – Thank you for being my friend
*Ditemani “Sekali Lagi”-nya Ipang dan “Maaf Kuharus Pergi”-nya Nine Ball.
#judul cerita ini berdasarkan obrolan ike dan danty di Twitter ... dan cerita ini dibuat atas usulan Marcelly ...
Note: Pemakaian kata ‘Heineken’ bukan untuk maksud promosi. Kata itu dipakai krn memberikan efek yang berbeda dengan pemakaian kata sekaleng bir yang terkesan seperti sekaleng minyak tanah atau sekaleng minyak goreng.
4 comments:
madam,aq jd pnasaran jg ma t4 that you used to sit itu.that conblock. do you have the picture? btw, i like the story,i dont have any professional reason(writing 1 aja gak beres),i just like it.good job!! :D
Thanks ... sayangnya ak g punya gambarnya. Conblock itu istilah indonesia kok kepanjangan dari concrete block kaya'nya. Tempat duduk dari beton itu lho. Kl di Marina or di tanjung mas dulu ada tempat duduk yg dari beton.
wah enaknya, lagi diluar ya mbak ? dimananya
*maaf baru pertama kali blogwalking
@volverhank: No worries ... Aku yg jelas tidak di Swedia... tapi aku di Perth, Western Australia ... :) ...
Post a Comment