‘Ajari aku pipis berdiri,’ pintaku padamu.
“Kenapa?’ tanyamu kaget.
‘Biar aku bisa ikut lomba jauh-jauhan pipis seperti anak-anak itu,’ kataku sambil menunjuk ke sekelompok anak laki-laki tak jauh dari tempatmu dan aku duduk.
‘Pipisku tidak pernah bisa jauh karena aku pipis jongkok,’ lanjutku.
‘Kau kan tak punya ‘burung’ seperti mereka,’ jawabmu.
‘Jadi itu artinya aku juga tak bisa disunat?’ tanyaku. ‘Padahal aku ingin disunat saja. Sakitnya cuma sekali, tidak setiap bulan seperti ibuku dan perempuan-perempuan dewasa lain.’
‘Yah… nantinya kau harus melewati masa-masa itu tiap bulan,’ katamu sambil menggeleng kepala.
‘Kalau belajar berkelahi?’ pintaku lagi.
‘Untuk apa kau ingin berkelahi?’ tanyamu.
‘Supaya aku bisa membalas kalau aku diejek,’ kataku.
‘Kau tak perlu berkelahi. Berkelahi bukan untukmu. Katakan padaku siapa yang mengejekmu dan aku akan membalasnya untukmu,’ jawabmu.
‘Kalau begitu… menikahlah denganku. Jadi kau akan terus ada untukku,’ kataku padamu.
Matamu memandangku lembut.
‘Kau tak mau menikah denganku?’ desakku.
Kamu tertawa kecil lalu mengacau rambutku, ‘Ayo, kuantar kau pulang. Ibumu pasti sudah mencarimu. Sudah sore.’
*Kamu tidak pernah menjawab tanyaku, mungkin memang tak ada jawaban yang sederhana untuk semua itu. Tapi aku menyimpan sepenggal percakapan ini dalam kenanganku tentang dirimu.*
No comments:
Post a Comment