Kisah tragis apa yang bisa dialami Anton karena aku?
Siang itu aku mengajar mahasiswa angkatan 2007. Anton, karena dia tinggi, terlihat di jendela kaca kecil di pintu ruang kelas. Dia bermaksud mengembalikan kunci ruang kantorku. Kami lalu berkomunikasi lewat jendela kaca kecil di pintu kelas itu. Karena aku sedang mendengarkan dan menilai presentasi mahasiswa, aku meminta Anton untuk masuk ke ruangan dengan isyarat tanganku. Anton menolak masuk dengan memberi isyarat lewat gelengan kepala sambil menggoyang-goyangkan kunci di tangannya. Aku memutuskan mengalah untuk membukakan pintu dan mengambil kunciku karena khawatir isyarat-isyarat tanganku akan berubah dari sekedar lambaian tangan untuk meminta masuk menjadi kepalan tangan atau acungan jari tengah.
Aku melangkah ke pintu dan mendorong pintu untuk membukanya dengan gayaku yang anggun dan terhormat layaknya seorang dosen... tapi ternyata aku gagal membuka pintu itu... Anton menahannya dari luar.
‘S***,’ batinku. Dia membuatku malu di depan mahasiswa 2007.
Pada percobaan yang kedua untuk membuka pintu kelas itu, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga...
BAAMMM... GLUBRAKKKK...
Pintu terbuka dan aku menyaksikan Anton terkapar dengan sukses di depan pintu. Ternyata bersamaan dengan waktu aku mendorong pintu itu, Anton memutuskan untuk mengakhiri permainannya dan membuka pintu. Dan terjadilah... dahi Anton terkecup kuat-kuat oleh pinggir daun pintu.
Aku langsung keluar dan berlutut di depan Anton yang menutup wajahnya dengan tangan dan diam tak bergerak... “ inna lillahi wa inna ilaihi rajioon ,” kataku ...
Anton diam tak bergerak sambil tetap menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Aku jadi cemas, ‘Ton... Ton... kamu nggak apa-apa?’ Aku berusaha membuka tangan Anton yang mengepal kaku menutupi wajahnya. Tampaknya dia sangat kesakitan.
Ketika akhirnya tangan Anton bisa aku singkirkan dari wajahnya, aku menyaksikan adegan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Bagian dahi Anton yang dicium pintu itu mulai membengkak membentuk benjolan ... semakin besar dan semakin besar... sampai sebesar telur ayam kampung... Wadowww... baru kali ini aku lihat proses terjadinya ‘benjol’... :D...
Benjolan itu bukannya membuat aku kasihan pada Anton tapi malah membuatku ngomong begini, ‘Walah Ton, … bathukmu ana endog-e… isa diceplok apa didadar ki Ton.’ (trans. Walah Ton, ... dahimu ada telurnya... bisa di buat mata sapi apa di dadar nih Ton). Anton yang kemungkinan besar masih kesakitan tak menjawab.
Akhirnya setelah beberapa lama Anton melek dan aku menolong Anton untuk berdiri. Anton yang masih sempoyongan dan sepertinya lost direction bukannya berdiri lempeng tapi malah muter-muter dan membuat bingung aku yang menggandengnya. Aku terus bilang ke dia, ‘Ton, aku minta pak Kasno buat kopi ya?’ Anton menjawab, ‘Rak usah mbok… aku ditukokke sega warteg wae.’ (trans. Tidak usah bu... aku dibelikan nasi warteg aja).
TOOOEEENGGGGG….
‘Ya ampun Toooonnnn…. Pernyataanmu itu membuktikan bahwa memang otakmu selama ini disetir sama perutmu… lha dalam kondisi yang parah gitu kok ya sempat-sempatnya mikir makanan….’
Sambil memegang Anton erat-erat biar dia tidak jatuh lagi aku komentar, ‘Kamu nggak pa pa kan Ton? Aku khawatir kamu tambah bodoh…!!!’ Hal yang tampaknya disetujui oleh Bu Heny yang mengangguk-angguk di belakangku sambil tersenyum.
Kisah itu meninggalkan bekas luka di dahi Anton sampai sekarang.
3 comments:
duh, madam. aku ngakak beneran loh baca ini. haahahahahaaa!
pas dikelas mana nih madam...jahahahhahahaa......nasib si Anton,niatan maw ngisengin malah kena batunya dh.....wkwkwkkwk
@Fe: thanks Fe... kalau kamu liat kejadian aslinya... udah guling2 bener ... itu tampang Anton bloon bgt.
@Glo: kelas apa ya Glo? kelasnya anak 2007 waktu itu... lupa persisnya... Iya... aku sempat 'misuh' dalam hati... tapi liat benjolnya... duh, kasihan juga... ;p
Post a Comment