Senin pagi …
‘Terorise ana sing wedhok,’ Goen berkomentar dengan suara cukup keras untuk kudengar. Dia sedang membaca berita tentang teroris di Kompas.com. (terj. 'terorisnya ada yang perempuan').
‘Sure…pancen ana sing wedhok…,’ jawabku tanpa berpikir panjang sambil berlari membawa buku ke toilet untuk menunaikan ‘nature’s call’. (terj. 'pasti, memang ada yang perempuan').
Sambil duduk di toilet, aku meletakkan buku di pangkuanku dan mengingat jawabanku ke Goen tentang teroris perempuan. I wonder, kenapa aku menjawab dengan nada ‘sok tahu’ seakan-akan hal itu adalah sesuatu yang semua orang sudah tahu dan Goen is the only one who is blind to that fact.
Aku jadi ingat dalam suatu diskusi PSW/PSG tentang 12 area kritis perempuan, salah satunya adalah tentang perempuan (dan anak) dalam perang. Dalam salah satu sharing, ada yang bercerita kalau meskipun perempuan dianggap ‘vulnerable’ dan dilindungi dalam perang, ada perempuan yang menjadi kurir pengirim berita ke daerah lawan atau ‘observer’ di daerah lawan ketika perang karena mereka adalah ‘the least suspected ones.’ Aku juga ingat cerita bu dhe-ku yang ketika perang kemerdekaan dijadikan kurir dari satu pos pejuang ke pos yang lain karena dia adalah anak perempuan kecil, anak desa lokal yang tidak akan menimbulkan kecurigaan ketika mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain di desa itu.
Komentar Goen tentang teroris perempuan membuatku berpikir tentang beberapa hal,
1. perempuan ternyata masih juga stereotypically dianggap tidak ‘capable of doing things in war’ (terorisme dan ‘perjuangan’-nya adalah ‘perang’ juga dalam arti lain).
2. Bahwa ‘perang’ adalah hal ‘masculine’ sehingga perempuan seharusnya tidak ada di dalamnya.
3. Apa perempuan-perempuan yang terlibat dalam ‘perang’ itu ‘dipaksa’, ‘terpaksa’, atau ‘dengan kesadaran penuh’ terlibat dalam ‘perjuangan’ itu. Kalau ‘dipaksa’ berarti perempuan sekali lagi menjadi korban dan dikorbankan (‘is a victim and victimized’); kalau ‘terpaksa’ berarti dia diposisikan untuk tidak punya pilihan lain (‘no other choice’) sehingga meskipun dia setuju untuk terlibat/melibatkan diri dalam ‘perjuangan’ itu, dia lebih melihatnya sebagai ‘kewajiban’ sama seperti ketika dia melakukan tugas-tugas domestiknya atau ketika dia harus ‘bertanggung jawab’ to take care of her children; kalau dengan kesadaran penuh? Berarti itu memang pilihan dan anggapan bahwa perang adalah ‘masculine’ dan medan perang adalah daerah laki-laki harus dipikirkan ulang.
4. No wonder kalau laki-laki selalu menjadi the first ones who claim for the prize ketika ‘menang perang’, lha perempuan sudah sejak awal dianggap ‘not part of the game’ ketika berhubungan dengan ‘perebutan kekuasaan’. Perang disini menjadi lebar artinya ketika aku hubungkan dengan ekonomi, politik dan pemerintahan.
Pikiran-pikiran itu terhenti ketika Yogis mengetuk pintu dan bertanya, ‘Mom, are you okaaayyyy???’
Wow… aku sudah terlalu lama ‘menguasai’ toilet ternyata…
3 comments:
hahhaha.....mikir di toiletnya oke juga madamm....ckckckckck....gender studies bgt niiii
Hahahaha toilet dimonopoli. :D
@glo & @asop: iya ... hrsnya judulnya 'renungan toilet' ya?
Post a Comment