Ada tiga hal yang “caught my eyes” ketika membuka gambar rancangan kaos Sastrosastri yang dibuat Igor. Pertama, mas model-nya yang cakep (setuju Visca Mahu). Kedua, tatto perempuan Jepang berpakaian tradisional di tangan mas-nya model. Ketiga, logo Sastrosastri. Logo ini juga yang kemudian membuatku struck pada ‘realita’ lain… ini yang keempat: warna kaos Sastrosastri.
Mengikuti komentar (dan sempat ikut mengomentari) yang ada ‘memancingku’ untuk menulis note ini dengan WARNING: note ini akan sedikit (atau mungkin banyak) ‘berat’ dan note ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi pembuat rancangan kaos itu (yang pada posisi ini jika dia baca pasti sudah terpancing untuk ‘ngeyel’) karena aku berangkat dari posisi ‘the death of the author’-nya Roland Barthes.
Kita hidup dikelilingi ‘signs’/tanda-tanda yang punya arti, mulai dari bahasa, gesture, cara berpakaian, film, musik, TV (see Saussure*). Waktu liat logo Sastrosastri yang pertama melintas di kepala adalah ‘SWASTIKA!’ Lambang Swastika sangat lekat dengan NAZI Jerman. Partai ini punya satu pemimpin yang namanya sangat terkenal: HITLER. Manusia ini jugalah yang membuat Eropa porak poranda waktu Perang Dunia Kedua sekaligus orang yang bertanggung jawab terhadap ‘holocaust’ orang-orang Yahudi yang jumlahnya jutaan jiwa lewat pembunuhan massal dan kamp-kamp konsentrasi. Bukan hal yang indah dan manis untuk dibayangkan sekalipun kalau mau melihat ke belakang via kacamata sejarah, Swastika ini tidak diciptakan oleh partai Nazi. Swastika ini (dalam bentuk macam-macam) sudah dipakai oleh orang Hindu. Kata Swastika sendiri berarti ‘obyek keberuntungan’ atau ‘lucky charm’ (see http://en.wikipedia.org/wiki/Swastika#cite_note-0). Swastika ini juga merupakan salah satu symbol yang dipakai Wisnu dan melambangkan matahari (for Igor: Krishna adalah salah satu titisan Wisnu). Di sumber lain, Swastika juga dianggap sebagai ‘the oldest form of cross’ dan kombinasi dari 4 huruf L (Dalam hal kaos Sastrosastri ini pembuatnya mengatakan bahwa ini dua huruf S yang disilangkan).
Right. Sampai bagian ini aku menghindari menulis Sastrosastri dengan abbreviationnya ‘SS.’ Alasannya adalah waktu aku membaca ulang komenku (yang sudah terlanjur ‘posted’), kata SS membawaku kembali ke lambang SWASTIKA yang terkontaminasi dengan bayangan buruk Nazi. SS ‘The Schutzstaffel’ singkatan ini dipakai oleh organisasi paramiliter partai Nazi. Dipimpin oleh Heinrich Himmler, SS ini merupakan organisasi utama yang bertanggung jawab terhadap ‘the holocaust’ (itu tadi, ‘genocide’ 6 juta warga Yahudi selama perang dunia II). WTH (what the h***) … Swastika+SS…
Setelah dua hal tersebut, sekali lagi mataku tertumbuk pada ‘coincidence’ ketiga. Warna. Check it out. Gambar lambang Nazi itu berkombinasi warna MERAH, HITAM, putih. Dan kenapa juga kaos yang ada berwarna merah dan hitam? Alasan lambang Nazi berwarna merah, hitam adalah karena itu warna yang ada dibendera Jerman.
Swastika+SS+merah, hitam = ??? … dan pikiranku melayang ke Auschwitz…
Stuart Hall bilang, ketika orang berkomunikasi. Pesan dari pengirim pesan ke penerima pesan itu bentuknya bukan garis lurus. Dia bilang kalau tidak ada jaminan bahwa pesan yang dikirim akan diterima sama persis oleh penerima pesan karena pesan yang disampaikan itu terpengaruh banyak hal seperti media yang dipakai, konteksnya, latar belakang penerima pesan, dll.
Teori Hall diatas terbukti ketika logo yang ada di teks (kaos) itu menghasilkan ‘different reading’ buat aku. Pesan yang kutangkap berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pembuat logo itu (sekalipun dalam bagian komennya perancang ini sempat bilang ‘jangan dipakai di Jerman’, so dia sadar akan adanya ‘intertextuality’ antara teks/logo Sastrosastri dengan Nazi Jerman).
Singkat kata, buat aku semua teks itu pasti punya meaning/ideology di belakangnya mulai dari teks yang serius sampai teks yang popular dan pembacaan meaning/ideology itu akan sangat tergantung pada ‘reader/konsumen’ teks itu sendiri.
*Saussure… Ferdinand de Saussure, penulis Course in General Linguistics yang bicara soal langue and parole (the signified and the signifier). Buku teori Linguistik pertama yang aku baca. Buku yang bujubune tebalnya dan lebih cocok untuk bantal (dan aku developed ‘Cara Baca dengan Mata Merem’). Buku yang bisa kubeli, thanks to para pembajak buku di Shopping Centre Yogya di paruh terakhir tahun 1989.
‘Kutukan’ John McRae waktu kuliah S2 dulu ternyata emang terbukti. Dia bilang,‘Sekali kamu belajar ‘Stylistics,’ dunia tidak akan pernah sama lagi.’ Dan itulah salah satu tujuan pendidikan: ‘mengubah seseorang.’ Jadi kalau kamu sekolah dan hasilnya kamu adalah orang yang sama, pendidikanmu berarti gagal… :D…
2 comments:
sama dengan apa yg ada dipikiran saya sampai saat ini
thanks whoever u r ...
Post a Comment